Tanggapan
dan pemikiran Prof. Hazairin dan Prof. K.H. Yudian Wahyudi terhadap Teori
Receptie, dan membandingkan teori dan pemikiran diantara keduanya”
Oleh :
Yasin Yusuf Abdillah
A. Latar Belakang
Ketika memasuki abad ke-20
dan sebelum kemerdekaan Indonesia, Indonesia dihadapkan dilematis pemikiran
terhadapa pemakaian hukum yang diberlakukan di Indonesia, apakah hukum Adat, Islam,
dan atau hukum Barat (Belanda). Pada waktu itu, Indonesia masih dalam belenggu
penjajahan kolonial belanda, pemerintahan serta peraturan yang dipakai masih
menggunakan aturan konstitusi belanda/Konstitusi Hindia Belanda (Indische
Staatsregling) sehingga meresahkan bagi kalangan umat muslim.
Pada waktu itu, pemerintah
hindia belanda mengurangi kedudukan hukum islam melalui para hakim belanda
dengan cara : pertama, undang-undang dasar hindia belanda menetapkan bahwa
hukum islam dianut antara umat islam hanya sepanjang hukum islam tersebut tidak
bertentangan dengan asas asas kepatutan dan keadilan yang diakui umum[1].
Kedua, hukum islam akan dianut hanya sepanjang telah diakui oleh hukum adat dan
tidak bertentangan dengan hukum Belanda[2].
Dengan Konstitusi Hindia Belanda (Indische Staatsregling) yang ingin memonopoli penerapan hukum di Indonesia,
muncullah teori baru yang digagas oleh Prof. Christian Snoock Hurgronye[3]
yaitu Teori
Receptie dan
dikembangkan kemudian oleh van Vollenhoven dan Ter Haar.
Dengan
munculnya Teori Receptie tersebut, sehingga timbul berbagai tanggapan dan
pemikiran baru mengenai hukum yang berlaku di tengah masyarakat. Tanggapan dan
pemikirannya dari Prof. Hazairin dengan teorinya Receptie Exit dan Prof. K.H. Yudian Wahyudi
dengan istilah Lisanul
Kaumnya dan teori kesinambungan dan perubahan ( continuity, change,
transendence).
Pembahasan
ini akan membahas mengenai tanggapan dan pemikiran Prof. Hazairin dan Prof. K.H. Yudian Wahyudi
terhadap Teori Receptie, dan membandingkan teori dan pemikiran diantara keduanya.
B. Biografi Prof. Hazairin dan Prof. K.H. Yudian Wahyudi
Sosok luar biasa keturunan Persia,
pakar huku adat serta hukum islam indonesia yang kemudian dikenal sebagai
Hazairin gelar Pangeran Alamsyah, Ia lahir di Bukit Tinggi pada 28 November
1906, meninggal di Jakarta pada 12 Desember 1975 pada usia 69 tahun[4].
Pendidikan formalnya dimulai di (Hollands Inlandsche School) di Bengkulu; dan
selesai pada tahun 1920. Setelah
menyelesaikan pendidikan SD di Bengkulu nya, ia melanjutkan pendidikannya ke
MULO (Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs) di Padang dan selesai pada tahun 1924[5].
Prof.Hazairin melanjutkan
pendidikannya ke AMS (Algemene Middelbare School) di Bandung, tahun 1927.
Akhirnya, ia melanjutkan pendidikannya ke RHS (Rechtskundige
hoogeschool/sekolah tinggi hukum jurusan hukum adat di Batavia (Jakarta), dan
sukses diselenggarakan Meester di tingkat Recten (Mr.) di tahun 1935. Satu
tahun kemudian, ia mendapat gelar doctor dengan diserasi berjudul De Redjang
(mengenai adat istiadat Rejang di Bengkulu)[6].
Sebagai seorang ahli hukum
adat, Prof. Hazairin juga belajar pendidikan agama pengetahuan dan pemahaman,
khususnya bahasa Arab. Dia menyadari bahwa bagian-bagian besar dari
sumber-sumber hukum Islam tersedia dalam bahasa Arab. Dia belajar mereka semua
melalui bimbingan kakeknya. Pada kenyataannya, kakeknya adalah seorang
pengkhotbah yang terkenal pada saat itu. Kemudian ketika kakeknya meninggal, Prof.
Hazairin diperkaya pemahaman lebih mendalam tentang Islam di tingkat yang lebih
tinggi sendiri. Ia menguasai bahasa Belanda, Inggris dan Prancis secara aktif,
dan bahasa Arab, Jerman dan Latin secara pasif[7].
Prof. Hazairin mengawali
karirnya sebagai asisten dosen hukum adat dan etnologi (antropologi) pada
fakultas hukum sekolah tinggi hukum di Batavia (Jakarta) tahun 1935-1938, ketua
Pengadilan Negeri padangsidempuan, Sumatra Utara serta Keresidenan tapanuli
tahun 1938-1942, ketua Pengadilan Negeri Tapanuli Selatan (ketua Pengadilan
Negeri pertama setelah kemerdekaan ) merangkap ketua Komite Nasional Indonesia
(KNI) dan anggota pusat pemerintahan tapanuli tahun Oktober 1945- April 1946,
residen Bengkulu tqhun 1946-1950, wakil gubernur militer Sumatera Selatan
hingga tahun 1953, kepala bagian hukum sipil/hukum perdata pada kementrian
Kehakiman Jakarta tahun 1953[8].
Selain pejuang, Prof. Hazairin
seorang politisi. Memimpin partai PIR (Persatuan Indonesia Raya) tahun 1948,
menteri dalam negeri cabinet Ali Sastroamidjojo-Wongsosuseno- Muhammad Roem
tahun1953-1955. Prof. Hazairin dikenal juga seorang ilmuan, ia menjadi guru
besar hukum adat sekaligus hukum islam di UI (Universitas Indonesia), UIJ
(Universitas Islam Jakarta) , AHM (Akademi Hukum Militer), dan PTIK (
Pendidikan Tinggi Ilmu Kepolisian). Ia merupakan salah seorang anggota Dewan
Kurator IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta 1960 hingga wafatnya[9].
Seiring berjalannya waktu, Prof.
Hazairin tumbuh menjadi penulis yang produktif. Dia telah menulis setidaknya 17
buku yang berbeda. Karya monumental di undang-undang yang De Redjang, De
Govolgen van de Huweilijkontbinding di Zuid Tapanuli (dampak dari perceraian di
Tapanuli Selatan), dan Reorganisatie van het Rechtwesen di Zuid Tapanuli (hukum
reorganisasi di Tapanuli Selatan). Ia
juga menulis hubungan antara hukum adat dan hukum Islam, seperti Pergolakan
Penyesuaian Adat Kepada Hukum Islam (1952)[10].
Analisis yang berhubungan
dengan hukum nasional perkawinan bisa ditelusuri pada adalah pekerjaan Hukum
Kekeluargaan Nasional (1962). Dan tulisannya tertentu pada warisan dapat
dilacak melalui karyanya monumental seperti Hukum Kewarisan Bilateral Menurut
Al-Qur'an dan hadits tersebut (1958), Hendak Kemana Hukum Islam? (1960) dan
Perdebatan Dalam Seminar Hukum Nasional Tentang Faraidl. Selain sebelumnya
disebutkan tulisan-tulisan di atas, Prof.Hazairin juga menulis banyak buku
intelektual[11].
Sedangkan Prof. K.H. Yudian Wahyudi, lahir
di Balikpapan, 1960. Belajar di Pesantren Tremas Pacitan (1972-1978) dan
Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta (1978-1979). B.A dan Drs. Fakultas Syari’ah dan
Hukum UIN Sunan Kalijaga (1982 dan 1987). B.A Fakultas Filsafat UGM (1986) (KKN
1988; Skripsi : "Selamat Datang Kematian)[12].
Program pembibitan calon dosen IAIN
se-Indonesia (Semarang, 1988-1989). M.A. Islamic Studies McGill University,
Montreal, Kanada, 1993 (Tesis: “Hasbi’s Theory of Ijtiha>d in the
Context of Indonesia Fiqh”). Ph.D.Islamic Studies McGill 2002
(Disertasi: “The Slogan ‘Back to the Qur’a>n and the Sunna’: A Comporative
Study of the Response of H{asan H{anafi Muh{ammad ‘Abid al-Ja>biri> and
Nurcholish Majid”). Visiting Scholar di Harvard Law School, boston, USA
(2002-2004). Profesor Islamic Studies di Tufts University,Medford,
Massachussetts, USA (2004-2005). Anggota American Association of University
Professors (2005-2006). Profesor Filsafat Hukum Islam (Falsafah al-Tasyri al
Islami) (sejak 2008).[13]
Menerbitkatkan lebih dari 52
(lima puluh dua) terjemahan dari bahasa Arab, Inggris dan Prancis ke dalam
Bahasa Indonesia (plus dari Inggris ke Arab). Menerbitkan sejumlah makalah
antologi berbahasa Indonesia antara lain[14] :
1.
Ushul Fikih versus
Hermeneutika : Membaca Islam dari Kanada dan Amerika (Pesantren Nawesea Press :
edisi perdana, 2006; cetakan ke-6,2010).
2.
Al-asmin : A Pocket
Dictionary of Modern Term : Arabic – English – Indonesia (ditulis 1991;
Pesantren Nawesea Press, 2006).
3.
Maqasid Syariah dalam
Pergumulan Politik : Berfilsafat Hukum Islam dari Harvard ke Sunan Kalijaga
(Pesantren Nawesea Press : edisi perdana, 2006; cetakan ke-3 2007).
4.
Jihad Ilmiah : Dari Tremas ke
Harvard (Pesantren Nawesea Press : edisi perdana, 2007; edisi ke-3 2009).
5.
Gerakan Wahabi di Indonesia :
Dialog dan Kritik . Editor (Pesantren Nawesea Press, 2009).
6.
Islam : Percikan Sejarah,
Filsafat, Politik, Hukum dan Pendidikan l
7.
Dinamika Politik
"Kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah" di Mesir, Maroko dan Indonesia.
Alih Bahasa : Saifuddin Zuhri (Pesantren Nawesea Press, 2010).
8.
Perang Diponegoro : Tremas,
SBY dan Ploso (Jakarta : Kemenko Kesra, 2012).
Sejumlah makalah antologi berbahasa Indonesia.
Publikasi internasional mencakup[15]:
(1) Ali Sha>ri’ati and Bint al-Shati’ on Free Will: A Comparation, terbit
dalam Journal of Islamic Studies (Oxford University Press, 1998). (2)
The Debat about the Sarfa: Pro and Againt, terbit dalam The Islamic
Quarterly (London, 2002). (3) Arab Responses to H{asan H{anafi’s Muqaddima
fi Ilm al-Istighra>b [Introduction to the Science of Occidentalism],
terbit dalam The Muslim World (Connecticut, 2003), dan masih banyak
lagi.
Pengalaman juara pidato dan
juara mengimami ketika di Pesantren menghantarkan penulis untuk aktif
mempresentasikan makalah disejumlah konferensi di lima benua, tidak terkecuali
di tiga kampus besar dunia: Harvard, Yale dan Princeton. Yang peling penting
diantaranya adalah[16]:
(1) Ibn Taymiyyah’s Legacy in Indonesia, dalam konferensi “Ibn Taymiyyah and
His Times” (Princeton University, 10-12 April, 2005). (2) Pembahas Panel
“Indonesia Muslim Legal Theory” dalam Konferensi “Islamic law in Indonesia”
(Harvard University, Maret 15, 2004). (3) Pembahas “Panel on Terrorism in
Southeast Asia” dalam “ Seminar on Southeast Asia Security and International
Relations” (Harvard University, Maret 15, 2004), dan lain-lain.
Menjadi ketua PEMRIKA-Montreal
(1997); Presiden Indonesian Academic Society (Montreal, 1998-1999); Anggota
Middle East Studies Association (sejak 1997); Anggota American Academy of
Religion (sejak 1998); Aggota Association of University Professors (2004-2006);
Direktur Eksekutif Pesantren Nawesea (Center for the Study of Islam in North
America, Western Europe ank Southeast Asia), Pesantren Mahasiswa dan Pasca
Sarjana Berbahasa Inggris (2005-2010); Kepala Pusan Penelitian dan Pengabdian
Masyarakat UNSIQ (Universitas Sains Al-Qur’an Jawa Tengah di Wonosobo) (2006);
Wakil Rois Syuriah PWNU DIY Yogyakarta (2007-2011) dan Ketua Tim Seleksi Calon
Anggota KPU DIY (2008)[17].
Sejak September 2005, kembali
aktif sebagai dosen Fakultas al-Tasyri’ al-Islami (Filsafat Hukum Islam) di Fakultas
Syari’ah UIN Sunan Kalijaga. Mengajar matakuliah (1) Pendekatan Pengkajian
Islam, (2) Filsafat Sosial dan Politik Islam, (3) Studi Politik Islam Kawasan
di Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga (2006), dan (4) Kekhasan Hukum Islam
di Program Doktor Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (2007)[18].
C. Tanggapan dan Pemikiran Prof. Hazairin dan Prof. K.H. Yudian Wahyudi Terhadap Teori Receptie
1. Teori receptive
Teori Receptie menyatakan bahwa bagi rakyat
pribumi pada dasarnya berlaku hukum adat. Hukum Islam berlaku bagi rakyat
pribumi kalau norma hukum Islam itu telah diterima oleh masyarakat sebagai
hukum adat[19].
Teori receptie dikemukakan oleh Prof. Christian Snoock Hurgronye
dan dikembangkan kemudian oleh van Vollenhoven dan Ter Haar. Teori ini
dijadikan alat oleh Snouck Hurgronye agar orang-orang pribumi jangan sampai
kuat memegang ajaran Islam dan hukum Islam, dikhawatirkan mcreka akan sulit
menerima, dan dipengaruhi dengan mudah oleh budaya barat[20].
2. Tanggapan dan Pemikiran Prof. Hazairin Terhadap Teori
Receptie
Dalam menanggapi teori
Receptie, Prof. Hazairin menganggapnya bahwa teori Receptie adalah teori iblis[21]. Menurut
Prof. Hazairin, umat islam tidak perlu lagi terjebak dalam kontroversi tentang
status Hukum Islam hanya karena adanya propaganda dari teori iblis ini[22].
Dari
tarik-menarik pengakuan teori berlakunya hukum, sebenarnya letak duduk
persoalan utamanya adalah masalah kekuasaan (power). Muatan pokok teori
receptie ini adalah prinsip divide at impera yang bertujuan untuk
menghambat dan menghentikan meluasnya Hukum Islam dan membentuk konsep hukum
tandingan yang mendukung politik pecah belah pemerintah kolonial[23].
Snouck
mengkampanyekan teori receptie, yang
kelihatannya melalui teori ini pemerintah
kolonial memberi perhatian kepada hukum adat. Sebenarnya bukan hukum adatlah
yang ingin dikuatkan, melainkan ini hanyalah sekedar cara untuk memalingkan
masyarakat pribumi dari hukum
Islam. Kemudian setelah berhasil maka tinggal membelokkannya untuk mendekat
kepada ide-ide Barat, yang tentu saja diharapkan hasilnya akan memperkuat
posisi Belanda menjadi penjajah[24].
Dengan berbagai pemikiran kemudian
Prof. Hazairin membuat Teori receptie exit ini bentuk bantahan dari teori
receptie. Yang mana setelah Indonesia merdeka, maka hukum yang diberlakukan di
Indonesia adalah hukum pancasila berdasarkan ketuhanan yang maha esa tidak lagi
hukum adat. Teori receptie harus exit karena bertentangan dengan al – qur'an
dan sunnah.
Pendapat Prof. Hazairin dalam
hal ini didasarkan pada pembukaan UUD 1945 alinea tiga yang menyatakan :
"atas berkat rahmat alloh yang maha kuasa dan dengan didorong oleh
keinginan luhur, supaya kehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia
menyatakan dengan ini kemerdekaannya". Alinea empat : "Negara
berdasarkan ketuhanan yang maha esa". Kedua rumusan diatas menggambarkan
bahwa Negara Indonesia sangat akrab dengan keyakinan terhadap tuhan yang maha
esa dan agama.[25]
Bagaimanapun, setelah proklamasi kemerdekaan
Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, syarat dan dasar berlakunya Hukum Islam
dan Hukum agama-agama yang lain adalah pasal 29 ayat (1) dan (2) UUD 1945 yang
berbunyi:
(1)
Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa,
(2)
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Menurut Prof. Hazairin, dengan merujuk kepada pasal 29 ayat 1 UUD 1945, maka
sebenarnya tidak perlu lagi terjadi pertentangan antara system hukum adat,
hukum positif dan hukum agama[26].
Menurut Prof.
hazairin istilah yang maha esa merupakan istilah kompromi. Walaupun telah
diganti dengan istilah ketuhanan yang maha esa tidak berarti dapat
menyingkirkan hukum islam atau hukum agama. Dengan istilah tersebut, hukum
agama yang diberlakukan di Indonesia bagi penganut penganutnya bukan hukum
islam saja, tetapi hukum agama-agama lain juga berlaku[27].
Perjuangan menerjang belenggu teori receptie secara prinsipal menampakkan hasilnya dengan terbitnya UUD 1945. Sebab, sudah sangat jelas dan
tegas ketentuan yang ada di dalam Pembukaan UUD 1945 dan dalam pasal 29 pada
Batang Tubuhnya. Secara instrumen undang-undang, teori ini sampai ajalnya
dengan terbitnya UU No. 1/1974 tentang Perka-winan. Undang-undang ini diakui
sangat kental berjiwa Islam[28].
3. Tanggapan dan Pemikiran Prof. K.H. Yudian
Wahyudi Terhadap Teori Receptie
Semua peraturan perundang-undangan Hindia
Belanda yang berdasarkan Teori Receptie tidak berlaku lagi, alasan yang
dikemukakan Prof. Hazairin menyatakan bahwa Teori Receptie itu harus exit alias
keluar dari tata hukum Indonesia Merdeka. Teori Receptie bertentangan dengan
Al-Qur'an dan Sunnah.
Sedangkan pemikiran Prof. K.H. Yudian Wahyudi mengenai Teori Receptie yaitu Sebuah
upaya penyatuan Nilai-nilai adat dengan Hukum Islam atau mengisi Teori Recepti.
Istilah yang digunakan Prof. K.H.Yudian
Wahyudi yaitu dengan istilah lisanul kaum dengan teori kesinambungan dan perubahan ( continuity, change,
transcendence)[29].
Tanggapan yang diberikan
Prof. K.H.Yudian Wahyudi terhadap Teori Receptie yaitu
dengan Teori Receptie itu sendiri. Maksudnya adalah dengan memahami lisanul
qaum atau mengikuti arus yang ada Teori Receptie tetap berlaku tetapi nilai
dari Receptie itu yang harus dirubah. Apa yang tidak bisa dirubah seluruhnya,
tidak ditinggalkan seluruhnya atau menarik maslahah didahulukan dari
mendapat mafsadah.
Aplikasi dalam teori Prof. K.H.Yudian Wahyudi yaitu dengan teorinya kesinambungan dan perubahan ( continuity,
change, transcendence) yaitu Fakultas syari'ah bergelar S.HI tidak cukup,
tetapi harus dibarengi dengan gelar S.H untuk memahami lisanul kaum.
Maksudnya apa ? Fakultas Syari'ah Prodi Hukum bergelar S.H. Ketika seseorang
hanya bergelar S.HI, maka dia akan kalah dengan yang lainnya, tetapi ketika
seseorang bergelar S.HI dan S.H maka dia akan mendapatkan kehormatan yang
lebih. Pertama dia bisa sejajar dengan yang lain, dan yang kedua akan
mendapatkan kehormatan yang lebih berupa nasl dan mal. Ketika dia
bergelar S.HI hanya mendapatkan din dan nafs tetapi setelah S.H
maka akan mendapat maqasid yang lima : din, nafs, hurmah, nasl, dan
mal.
Aplikasi lain dari terinya
prof. Yudian Wahyudi yaitu pondok pesantren mempelajari ilmu umum. Jika ingin maju, kita harus memfardhuainkan ilmu
farhdu kifayah–matematika, IPA, dan bahasa Inggris haruslah menjadi kurikulum
inti sebagai bagian keimanan sebagaimana halnya ilmu keislaman pola pondok
pesantren. Exsprimental
sciences jangan dihilangkan dalam kurikulum pondok pesantren untuk
mendapatkan lisanul qaum dan teori kesinambungan dan perubahan (
continuity, change, transendence).
Dalam menanggapi Teori Receptie
Prof. K.H.Yudian tidak mengambil Teori Receptie semua dan
tidak merubah semuanya menjadi Hukum Islam. Tetapi menggunakan teori filsafat
garam yang dikemukakan oleh Hatta yaitu tidak mesti memamerkan identitas islam
tetapi sangat berpengaruh. substansi lebih penting daripada kulit[30].
Penonjolan
aspek Islam dengan hanya menempati aspek substansial dalam konstitusi negara
ini sebenarnyalah mempunyai makna berharga. Mungkin masih maraknya kekakuan
mendirikan negara Islam adalah disebabkan karena kurang siapnya menangkap Islam
menjadi satu kesatuan jalan hidup. Setidaknya salah satu upaya memaknai Islam
sebagai kesatuan cara hidup yang menyatu, menurut Prof. Yudian, telah
dipraktekkan Hatta dalam mengibarkan kata “Ketuhanan Yang Maha Esa”[31].
Dengan
langkah ini, Hatta menghantam komunisme sejak dini, tetapi sekaligus mengibarkan
bendera Tauhid.Hatta menye-imbangkan antara kepentingan agama dengan tetap
terjaganya kesatuan tanah air. Di sinilah makna strategis konstitusional Hatta.
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, sesuai dengan langkah Hatta, sudah mengakomodir
Tauhid bagi umat Islam (sehingga wajar jika ia didaulat sebagai Bapak Pemersatu
Konstitusional ketika mengganti tujuh kata dari Pancasila, yang kemudian
dimasukkan kembali ke dalam Piagam Jakarta, dengan “Yang Maha Esa” sebagai
pilihannya). Tujuh kata itu, bagi Hatta, adalah gincu: tampak tapi tidak
berpengaruh. Sebaliknya, “Yang Maha Esa” adalah garam, karena tidak memamerkan
identitas Islam tetapi sangat berpengaruh.
Dari
paparan diatas penulis bisa mengambil kesimpulan bahwa, Teori Receptie yang
pada waktu itu sebagai bentuk penggunaan hukum adat di Indonesia, tidak dapat
dihilangkan total. Karena apa ? karena Islam masuk di Indonesia yang dibawa
oleh para Wali juga menggunakan Adat yang berlaku pada saat itu tetapi cara dan
bentuknya menggunakan Nilai-nilai Islam. Tidak harus menggunakan Undang-undang
Islam atau Mendirikan Negara Islam tetapi Nilainya yang Nilai-nilai Islam
sebagaimana sudah tertuang dalam Pancasila.walaupun bentuk Negara ini
Nasionalis bukan berarti mengeyampingkan nilai Islam didalamnya. Itu terbukti
ketika Indonesia menjadi satu tanah air tanpa ada sekte-sekte Negara sendiri.
Seandaniya Negara yang dipakai Negara islam, tidak nasionalis, mungkin
Indonesia tidak satu tetapi terpecah belah menjadi beberapa Negara.
4. Perbandingan dan Aplikasi Teori Prof. Hazairin dan Prof. K.H. Yudian Wahyudi
Hal yang sangat menarik dari
dua tokoh ini (Prof. Hazairin dan Prof. K.H. Yudian
Wahyudi) adalah, keduanya sama-sama mengomentari Teori Receptie dengan sudut
pandang yang berbeda.
Disini penulis simpulkan perbandingan
Teori yang di tawarkan Prof. Hazairin dan Prof. K.H. Yudian Wahyudi untuk menanggapi Teori Receptie
yaitu :
a.
Prof. Hazairin dengan Teori
Receptie Exit sedangkan Prof. K.H. Yudian Wahyudi
menggunakan istilah lisanul kaum dan teori
kesinambungan dan perubahan ( continuity, change, transendence).
b.
Prof. Hazairin merubuhkan
Teori Receptie total menjadi Pancasila sedangkan Prof. K.H. Yuadian Wahyudi mengisi Teori Receptie.
c.
Prof. Hazairin lebih
memberikan teori dalam menanggapi Teori Receptie daripada menerapkan aplikasi,
sedangkan Prof. K.H. Yudian
Wahyudi memberikan teori sekaligus menerapkan aplikasi dan contoh dalam
menanggapi Teori Receptie.
Dari perbandingan diatas,
penulis lebih sepakat dengan Prof. K.H. Yudian
Wahyudi karena lebih bersifat toleransi/lembut dalam menanggapi Teori yang
sudah ada. Tidak harus menghapus teori yang sudah ada, tetapi mengisi teori
yang ada sebagai bentuk perubahan.
D. Analisis Penulis Terhadap Prof. Hazairin dan Prof. K.H. Yudian Wahyudi
Sebelum hukum barat diterapkan di bumu
Nusantara, hukum yang berlaku yaitu hukum adat dan hukum Islam, itu terbukti
dengan adanya Teori Receptie in Complexu . Lalu dengan berkembangnya agama
Islam, hukum Islam sebagai hukum yang berhubungan dengan keyakinan agama
mendapat tempat tersendiri dalam kerajaan-kerajaan Islam Nusantara. Kemudian
setelah masuknya kolonial Belanda, ada tiga system hukum Islam, Adat, dan Barat
(Belanda) yang berlanjut sampai sekarang.
Terlepas dari teori ini, hukum Islam dalam kenyataan sejarah telah
menyatu dengan budaya hukum bangsa Indonesia. Dalam beberapa suku bangsa,
antara hukum adat dan hukum Islam bahkan merupakan suatu kesatuan yang
integral.
Teori Receptie menyatakan, hukum
yang berlaku bagi umat Islam adalah hukum adat mereka masing-masing. Hukurn
Islam dapat berlaku apabila telah diresepsi oleh hukum adat, jadi hukum adatlah
yang menentukan ada tidaknya hukum Islam. Teori ini dikemukakan oleh Snouck
Hurgronje.
Kemudian muncullah Teori Receptie
Exit yang digagas oleh Prof. Hazairin sebagai bentuk bantahan dari Teori
Snouck. Prof. Hazairin merubah total Teori Receptie dengan pancasila. Kemudian
muncullah teori kesinambungan dan perubahan ( continuity, change, transcendence) untuk memahami lisanul kaum.
Teori ini dipopulerkan oleh Prof. K.H. Yudian Wahyudi.
Dua tokoh diatas sangat luar biasa dengan teori keduanya sama-sama
ingin menjaga eksistensi nilai islam tanpa harus menggunakan identitas islam.
Tanggapan dan pemikiran dua tokoh itu juga karena adanya teori pemberlakuan
hukum adat, sedangkan hukum islam bisa dilaksanakan kalu sudah diterima oleh
adat, hukum adat pada waktu itu adalah system hukum yang diterapkan oleh
kolonial belanda.
E. Penutup
Dewasa
ini seharusnya hukum haruslah objektif. Ia tidak boleh memihak si fulan untuk
menindas si fulan. Teori tentang keberlakuan hukum juga harus netral dan bebas
kepentingan baik politik, ekonomi maupun kekuasaan. Teori keberlakuan hukum ini
telah terjadi saat Snouck memunculkan teori receptie.
Dengan teori ini, keberlakuan hukum
Islam baru bisa dikatakan sah jika telah diserap, diterima dan tidak
berten-tangan dengan hukum Adat.
Untuk
mengetahui corak atau bentuk teori Receptie, kelihatan sekali bahwa mengandung
kepentingan politis. Teori ini untuk menangkis berlakunya hukum Islam karena
memiliki potensi bertentangan dengan hukum Belanda. Dengan diberlakukannya
hukum islam, Belanda kawatir akan kehilangan harga dirinya. Oleh karena itu, Belanda
membaca gejala ini sehingga menggunakan sarana hukum Adat untuk memonopoli
hukum Islam.
Teori
receptie ini sangat kuat hingga
membutuhkan banyak alat hukum untuk menghentikannya. Tetapi akhirnya teori ini
sirna ketika adanya Pembukaan UUD 1945 dan pasal 29 batang tubuhnya. Pasal 29
menyatakan bahwa negara menjamin hak asasi bagi setiap orang menjalankan ajaran
agamanya, baik dalam hal ibadah maupun hukumnya.
Islam
telah berjasa menjaga keutuhan Indonesia dalam perumusan konstitusi. Pada saat
perumusan Piagam Jakarta, sempat terjadi perdebatan terkait redaksinya; antara
formalisasi Islam ataukah susbstansialisi Islam. Gejala formalisasi telah
nampak dengan pencan-tuman tujuh kata Islam dalam sila I Pancasila. Pilihan ini
mendapat reaksi keras sampai ada ancaman rakyat Indonesia Timur yang tidak
beragama Islam enggan bergabung dalam NKRI.
Polemik
ini akhirnya bisa diselesaikan Hatta yang telah mencoret tujuh kata tersebut
dengan ganti redaksi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Keesaan ini meskipun
melambangkan redaksi yang bisa diterima oleh agama lain, sebenarnya masih
sejalan dengan spirit Islam yakni Tauhid (mono-theisme). Dengan demikian, Hatta
telah berhasil menjaga kesatuan bangsa tanpa harus menghilangkan substansi
ajaran Islam. Pancasila yang diidealkan Hatta juga memusatkan jiwanya pada sila
pertama. Menurutnya, perjalanan kehidupan negara ini mempunyai pegangannya dengan
landasan spiritual ketuhanan.
Dari
sejarah diatas, sehaarusnya menjadi patokaan bagi pembuat hukum dengan melihat kemaslahatan
ummat. Pembentukan Undang-undang harus bersifat bersih tanpa harus ada
unsur-unsur yang mempengaruhi dan merusaknya.
Daftar
Pustaka
Azis
Dahlan, Abdul. et al. Ensiklopedia Hukum Islam (Jakarta : PT Ichtiar
Baru van Hoeve, 1996).
Amin
Nasution, Muhammad, DECONSTRUCTION TOWARDS
ISLAMIC INHERITANCE LAW IN INDONESIA (A Brief Study on Hazairin’s
Bilateral Inheritance Idea) (Jurnal Al-Khairi, Volume 1 Tahun 2007).
Anshoruddin ( Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Agama Pontianak) BEBERAPA TEORI TENTANG BERLAKUNYA HUKUM ISLAM
DI INDONESIA.
Fuad, Mahsun,
Hukum Islam Indonesia: Dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris
(Yogyakarta: LKiS,2005).
Rosyadi,
Rahmad dan Rais Ahmad, Formalisasi Syariat Islam dalam Perspektif Tata Hukum
Indonesia (Bogor : Ghalia Indonesia, 2006 ).
Sugiono,
Sukiati, Islamic Legal Reform In Twentieth Century Indonesia: A Study Of
Hazairin's Thought (Montreal, Canada : Institute of Islamic Studies McGill
University ,1999).
Sirajuddin,
Legislasi Hukum Islam Indonesia (Bengkulu: Pustaka Pelajar, 2008).
Tobroni, Faiq, Keberhasilan Hukum Islam Menerjang Belenggu
Kolonial dan Menjaga Keutuhan Nasional ) UNISIA, Vol. XXXII No. 72, Desember 2009).
Wahyudi,
Yudian, Ushul Fikih Versus Hermeneutika : Membaca Islam Dari Kanada Dan
Amerika (Yogyakarta:Pesantren Nawesea Press,2006).
Wahyudi,
Yudian, MAQASHID SYARI'AH DALAM PERGUMULATAN POLITIK : Berfilsafat Hukum
Islam dari Harvard ke Sunan Kalijaga (Yogyakarta : Nawesea Press, 2006).
Wahyudi,
Yudian, DINAMIKA POLITIK : Kembali Kepada Al-Qur'an Dan Sunnah Di Mesir,
Maroko Dan Indonesia (Yogyakarta:Nawesea Press, 2007).
Wahyudi,
Yudian, Perang Diponegoro : Tremas, SBY dan Ploso (Yogyakarta: Cakrawala
Media, 2012).
[1]Diakui umum berarti diakui oleh
hakim-hakim belanda pada waktu itu.
[2]Sirajuddin, Legislasi Hukum
Islam Indonesia (Bengkulu: Pustaka Pelajar, 2008),hal. 79.
[3]Christian
Snoock Hurgronye
pada masa itu menjabat sebagai penassehat pemerintahan kolonial tentang pribumi
dan urusan-urusan Islam (Sirajuddin, 2008), hal.80.
[4]Sukiati Sugiono, Islamic Legal Reform In
Twentieth Century Indonesia: A Study Of Hazairin's Thought (Montreal,
Canada: Institute of Islamic Studies McGill University,1999), hal. 7.
[5]Muhammad Amin Nasution, DECONSTRUCTION
TOWARDS ISLAMIC INHERITANCE LAW IN
INDONESIA (A Brief Study on Hazairin’s Bilateral Inheritance Idea)
(Jurnal Al-Khairi, Volume 1 Tahun 2007). Hal. 74.
[6]Abdul Azis Dahlan. et al. Ensiklopedia Hukum
Islam (Jakarta : PT Ichtiar Baru van Hoeve, 1996),hal.537.
[10]Muhammad Amin Nasution, DECONSTRUCTION
TOWARDS ISLAMIC INHERITANCE LAW IN
INDONESIA (A Brief Study on Hazairin’s Bilateral Inheritance Idea),
Hal. 76.
[11]Muhammad Amin Nasution, DECONSTRUCTION
TOWARDS ISLAMIC INHERITANCE LAW IN
INDONESIA (A Brief Study on Hazairin’s Bilateral Inheritance Idea),
Hal. 76.
[12]Yudian Wahyudi, Ushul Fikih Versus
Hermeneutika : Membaca Islam Dari Kanada Dan Amerika (Yogyakarta:Pesantren
Nawesea Press,2006), hal.135.
[14]Yudian Wahyudi, MAQASHID SYARI'AH DALAM
PERGUMULATAN POLITIK : Berfilsafat Hukum Islam dari Harvard ke Sunan Kalijaga
(Yogyakarta : Nawesea Press, 2006), hal 106.
[15]Yudian Wahyudi, DINAMIKA POLITIK : Kembali
Kepada Al-Qur'an Dan Sunnah Di Mesir, Maroko Dan Indonesia
(Yogyakarta:Nawesea Press, 2007), hal. 143.
[16]Yudian Wahyudi, Perang Diponegoro : Tremas,
SBY dan Ploso (Yogyakarta: Cakrawala Media, 2012), hal.96.
[17]Yudian Wahyudi, DINAMIKA POLITIK : Kembali
Kepada Al-Qur'an Dan Sunnah Di Mesir, Maroko Dan Indonesia, hal. 147.
[18]Yudian Wahyudi, DINAMIKA POLITIK : Kembali
Kepada Al-Qur'an Dan Sunnah Di Mesir, Maroko Dan Indonesia, hal. 147.
[19]Anshoruddin ( Wakil Ketua Pengadilan Tinggi
Agama Pontianak) BEBERAPA
TEORI TENTANG BERLAKUNYA HUKUM ISLAM DI INDONESIA, hal.4.
[20]
Anshoruddin ( Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Agama Pontianak) BEBERAPA
TEORI TENTANG BERLAKUNYA HUKUM ISLAM DI INDONESIA, hal.4.
[21]
Disebut teori Iblis, karena menurut
Hazairin teori ini yang menghalang-halangi berlakunya hukum Islam di Indonesia
serta mengajak orang Islam untuk tidak mematuhi dan melaksanakan perintah Allah
dan Sunnah Rasul-Nya.
[22]Mahsun Fuad, Hukum Islam
Indonesia: Dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris (Yogyakarta:
LKiS,2005),hal.77.
[23]Faiq Tobroni, Keberhasilan Hukum Islam Menerjang Belenggu
Kolonial dan Menjaga Keutuhan Nasional ) UNISIA, Vol. XXXII
No. 72, Desember 2009), hal.203.
[24]Faiq Tobroni, Keberhasilan Hukum Islam Menerjang Belenggu
Kolonial dan Menjaga Keutuhan Nasional , hal.203.
[25]Rahmad Rosyadi dan Rais Ahmad, Formalisasi
Syariat Islam dalam Perspektif Tata Hukum Indonesia (Bogor : Ghalia
Indonesia, 2006 ),hal. 82.
[27]Rahmad Rosyadi dan Rais Ahmad, Formalisasi
Syariat Islam dalam Perspektif Tata Hukum Indonesia,hal. 82.
[28]Faiq Tobroni, Keberhasilan Hukum Islam Menerjang Belenggu
Kolonial dan Menjaga Keutuhan Nasional ,
hal.202.
[29]Materi disampaikan oleh Prof.
Yudian Wahyudi dalam materi dan diskusi pembelajaran kelas tanggal 14 Desember 2015.
[30]Yudian Wahyudi, MAQASHID SYARI'AH DALAM
PERGUMULATAN POLITIK : Berfilsafat Hukum Islam dari Harvard ke Sunan Kalijaga,
hal.37.
[31]Materi disampaikan oleh Prof.
Yudian Wahyudi dalam materi dan diskusi pembelajaran kelas tentang Islam dan
Nasionalisme: Sebuah Pendekatan Maqasid Syari'ah, tanggal 21 Desember 2015.
0 komentar:
Posting Komentar