Rabu, 13 Januari 2016

Pemikiran Hazairin dan Yudian Wahyudi terhadap Teori Receptie

Tanggapan dan pemikiran Prof. Hazairin dan Prof. K.H. Yudian Wahyudi terhadap Teori Receptie, dan membandingkan teori dan pemikiran diantara keduanya”

Oleh :

Yasin Yusuf Abdillah


A. Latar Belakang
Ketika memasuki abad ke-20 dan sebelum kemerdekaan Indonesia, Indonesia dihadapkan dilematis pemikiran terhadapa pemakaian hukum yang diberlakukan di Indonesia, apakah hukum Adat, Islam, dan atau hukum Barat (Belanda). Pada waktu itu, Indonesia masih dalam belenggu penjajahan kolonial belanda, pemerintahan serta peraturan yang dipakai masih menggunakan aturan konstitusi belanda/Konstitusi Hindia Belanda (Indische Staatsregling) sehingga meresahkan bagi kalangan umat muslim.
Pada waktu itu, pemerintah hindia belanda mengurangi kedudukan hukum islam melalui para hakim belanda dengan cara : pertama, undang-undang dasar hindia belanda menetapkan bahwa hukum islam dianut antara umat islam hanya sepanjang hukum islam tersebut tidak bertentangan dengan asas asas kepatutan dan keadilan yang diakui umum[1]. Kedua, hukum islam akan dianut hanya sepanjang telah diakui oleh hukum adat dan tidak bertentangan dengan hukum Belanda[2].
Dengan Konstitusi Hindia Belanda (Indische Staatsregling) yang ingin memonopoli penerapan hukum di Indonesia, muncullah teori baru yang digagas oleh Prof. Christian Snoock Hurgronye[3] yaitu Teori Receptie dan dikembangkan kemudian oleh van Vollenhoven dan Ter Haar.
Dengan munculnya Teori Receptie tersebut, sehingga timbul berbagai tanggapan dan pemikiran baru mengenai hukum yang berlaku di tengah masyarakat. Tanggapan dan pemikirannya dari Prof. Hazairin dengan teorinya Receptie Exit dan Prof. K.H. Yudian Wahyudi dengan istilah Lisanul Kaumnya dan teori kesinambungan dan perubahan ( continuity, change, transendence).
Pembahasan ini akan membahas mengenai tanggapan dan pemikiran Prof. Hazairin dan Prof. K.H. Yudian Wahyudi terhadap Teori Receptie, dan membandingkan teori dan pemikiran diantara keduanya.  
B. Biografi Prof. Hazairin dan Prof. K.H. Yudian Wahyudi
Sosok luar biasa keturunan Persia, pakar huku adat serta hukum islam indonesia yang kemudian dikenal sebagai Hazairin gelar Pangeran Alamsyah, Ia lahir di Bukit Tinggi pada 28 November 1906, meninggal di Jakarta pada 12 Desember 1975 pada usia 69 tahun[4]. Pendidikan formalnya dimulai di (Hollands Inlandsche School) di Bengkulu; dan selesai pada tahun 1920.  Setelah menyelesaikan pendidikan SD di Bengkulu nya, ia melanjutkan pendidikannya ke MULO (Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs) di Padang dan selesai pada tahun 1924[5].
Prof.Hazairin melanjutkan pendidikannya ke AMS (Algemene Middelbare School) di Bandung, tahun 1927. Akhirnya, ia melanjutkan pendidikannya ke RHS (Rechtskundige hoogeschool/sekolah tinggi hukum jurusan hukum adat di Batavia (Jakarta), dan sukses diselenggarakan Meester di tingkat Recten (Mr.) di tahun 1935. Satu tahun kemudian, ia mendapat gelar doctor dengan diserasi berjudul De Redjang (mengenai adat istiadat Rejang di Bengkulu)[6].
Sebagai seorang ahli hukum adat, Prof. Hazairin juga belajar pendidikan agama pengetahuan dan pemahaman, khususnya bahasa Arab. Dia menyadari bahwa bagian-bagian besar dari sumber-sumber hukum Islam tersedia dalam bahasa Arab. Dia belajar mereka semua melalui bimbingan kakeknya. Pada kenyataannya, kakeknya adalah seorang pengkhotbah yang terkenal pada saat itu. Kemudian ketika kakeknya meninggal, Prof. Hazairin diperkaya pemahaman lebih mendalam tentang Islam di tingkat yang lebih tinggi sendiri. Ia menguasai bahasa Belanda, Inggris dan Prancis secara aktif, dan bahasa Arab, Jerman dan Latin secara pasif[7].
Prof. Hazairin mengawali karirnya sebagai asisten dosen hukum adat dan etnologi (antropologi) pada fakultas hukum sekolah tinggi hukum di Batavia (Jakarta) tahun 1935-1938, ketua Pengadilan Negeri padangsidempuan, Sumatra Utara serta Keresidenan tapanuli tahun 1938-1942, ketua Pengadilan Negeri Tapanuli Selatan (ketua Pengadilan Negeri pertama setelah kemerdekaan ) merangkap ketua Komite Nasional Indonesia (KNI) dan anggota pusat pemerintahan tapanuli tahun Oktober 1945- April 1946, residen Bengkulu tqhun 1946-1950, wakil gubernur militer Sumatera Selatan hingga tahun 1953, kepala bagian hukum sipil/hukum perdata pada kementrian Kehakiman Jakarta tahun 1953[8].
Selain pejuang, Prof. Hazairin seorang politisi. Memimpin partai PIR (Persatuan Indonesia Raya) tahun 1948, menteri dalam negeri cabinet Ali Sastroamidjojo-Wongsosuseno- Muhammad Roem tahun1953-1955. Prof. Hazairin dikenal juga seorang ilmuan, ia menjadi guru besar hukum adat sekaligus hukum islam di UI (Universitas Indonesia), UIJ (Universitas Islam Jakarta) , AHM (Akademi Hukum Militer), dan PTIK ( Pendidikan Tinggi Ilmu Kepolisian). Ia merupakan salah seorang anggota Dewan Kurator IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta 1960 hingga wafatnya[9].
Seiring berjalannya waktu, Prof. Hazairin tumbuh menjadi penulis yang produktif. Dia telah menulis setidaknya 17 buku yang berbeda. Karya monumental di undang-undang yang De Redjang, De Govolgen van de Huweilijkontbinding di Zuid Tapanuli (dampak dari perceraian di Tapanuli Selatan), dan Reorganisatie van het Rechtwesen di Zuid Tapanuli (hukum reorganisasi di Tapanuli Selatan).  Ia juga menulis hubungan antara hukum adat dan hukum Islam, seperti Pergolakan Penyesuaian Adat Kepada Hukum Islam (1952)[10].
Analisis yang berhubungan dengan hukum nasional perkawinan bisa ditelusuri pada adalah pekerjaan Hukum Kekeluargaan Nasional (1962). Dan tulisannya tertentu pada warisan dapat dilacak melalui karyanya monumental seperti Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur'an dan hadits tersebut (1958), Hendak Kemana Hukum Islam? (1960) dan Perdebatan Dalam Seminar Hukum Nasional Tentang Faraidl. Selain sebelumnya disebutkan tulisan-tulisan di atas, Prof.Hazairin juga menulis banyak buku intelektual[11].
Sedangkan Prof. K.H. Yudian Wahyudi, lahir di Balikpapan, 1960. Belajar di Pesantren Tremas Pacitan (1972-1978) dan Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta (1978-1979). B.A dan Drs. Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga (1982 dan 1987). B.A Fakultas Filsafat UGM (1986) (KKN 1988; Skripsi : "Selamat Datang Kematian)[12].
 Program pembibitan calon dosen IAIN se-Indonesia (Semarang, 1988-1989). M.A. Islamic Studies McGill University, Montreal, Kanada, 1993 (Tesis: “Hasbi’s Theory of Ijtiha>d in the Context of Indonesia Fiqh”). Ph.D.Islamic Studies McGill 2002 (Disertasi: “The Slogan ‘Back to the Qur’a>n and the Sunna’: A Comporative Study of the Response of H{asan H{anafi Muh{ammad ‘Abid al-Ja>biri> and Nurcholish Majid”). Visiting Scholar di Harvard Law School, boston, USA (2002-2004). Profesor Islamic Studies di Tufts University,Medford, Massachussetts, USA (2004-2005). Anggota American Association of University Professors (2005-2006). Profesor Filsafat Hukum Islam (Falsafah al-Tasyri al Islami) (sejak 2008).[13]
Menerbitkatkan lebih dari 52 (lima puluh dua) terjemahan dari bahasa Arab, Inggris dan Prancis ke dalam Bahasa Indonesia (plus dari Inggris ke Arab). Menerbitkan sejumlah makalah antologi berbahasa Indonesia antara lain[14] :
1.      Ushul Fikih versus Hermeneutika : Membaca Islam dari Kanada dan Amerika (Pesantren Nawesea Press : edisi perdana, 2006; cetakan ke-6,2010).
2.      Al-asmin : A Pocket Dictionary of Modern Term : Arabic – English – Indonesia (ditulis 1991; Pesantren Nawesea Press, 2006).
3.      Maqasid Syariah dalam Pergumulan Politik : Berfilsafat Hukum Islam dari Harvard ke Sunan Kalijaga (Pesantren Nawesea Press : edisi perdana, 2006; cetakan ke-3 2007).
4.      Jihad Ilmiah : Dari Tremas ke Harvard (Pesantren Nawesea Press : edisi perdana, 2007; edisi ke-3 2009).
5.      Gerakan Wahabi di Indonesia : Dialog dan Kritik . Editor (Pesantren Nawesea Press, 2009).
6.      Islam : Percikan Sejarah, Filsafat, Politik, Hukum dan Pendidikan l
7.      Dinamika Politik "Kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah" di Mesir, Maroko dan Indonesia. Alih Bahasa : Saifuddin Zuhri (Pesantren Nawesea Press, 2010).
8.      Perang Diponegoro : Tremas, SBY dan Ploso (Jakarta : Kemenko Kesra, 2012).
 Sejumlah makalah antologi berbahasa Indonesia. Publikasi internasional mencakup[15]: (1) Ali Sha>ri’ati and Bint al-Shati’ on Free Will: A Comparation, terbit dalam Journal of Islamic Studies (Oxford University Press, 1998). (2) The Debat about the Sarfa: Pro and Againt, terbit dalam The Islamic Quarterly (London, 2002). (3) Arab Responses to H{asan H{anafi’s Muqaddima fi Ilm al-Istighra>b [Introduction to the Science of Occidentalism], terbit dalam The Muslim World (Connecticut, 2003), dan masih banyak lagi.
Pengalaman juara pidato dan juara mengimami ketika di Pesantren menghantarkan penulis untuk aktif mempresentasikan makalah disejumlah konferensi di lima benua, tidak terkecuali di tiga kampus besar dunia: Harvard, Yale dan Princeton. Yang peling penting diantaranya adalah[16]: (1) Ibn Taymiyyah’s Legacy in Indonesia, dalam konferensi “Ibn Taymiyyah and His Times” (Princeton University, 10-12 April, 2005). (2) Pembahas Panel “Indonesia Muslim Legal Theory” dalam Konferensi “Islamic law in Indonesia” (Harvard University, Maret 15, 2004). (3) Pembahas “Panel on Terrorism in Southeast Asia” dalam “ Seminar on Southeast Asia Security and International Relations” (Harvard University, Maret 15, 2004), dan lain-lain.
Menjadi ketua PEMRIKA-Montreal (1997); Presiden Indonesian Academic Society (Montreal, 1998-1999); Anggota Middle East Studies Association (sejak 1997); Anggota American Academy of Religion (sejak 1998); Aggota Association of University Professors (2004-2006); Direktur Eksekutif Pesantren Nawesea (Center for the Study of Islam in North America, Western Europe ank Southeast Asia), Pesantren Mahasiswa dan Pasca Sarjana Berbahasa Inggris (2005-2010); Kepala Pusan Penelitian dan Pengabdian Masyarakat UNSIQ (Universitas Sains Al-Qur’an Jawa Tengah di Wonosobo) (2006); Wakil Rois Syuriah PWNU DIY Yogyakarta (2007-2011) dan Ketua Tim Seleksi Calon Anggota KPU DIY (2008)[17].
Sejak September 2005, kembali aktif sebagai dosen Fakultas al-Tasyri’ al-Islami (Filsafat Hukum Islam) di Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga. Mengajar matakuliah (1) Pendekatan Pengkajian Islam, (2) Filsafat Sosial dan Politik Islam, (3) Studi Politik Islam Kawasan di Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga (2006), dan (4) Kekhasan Hukum Islam di Program Doktor Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (2007)[18].
C. Tanggapan dan Pemikiran Prof. Hazairin dan Prof. K.H. Yudian Wahyudi Terhadap Teori Receptie
1.  Teori receptive
Teori Receptie menyatakan bahwa bagi rakyat pribumi pada dasarnya berlaku hukum adat. Hukum Islam berlaku bagi rakyat pribumi kalau norma hukum Islam itu telah diterima oleh masyarakat sebagai hukum adat[19].
Teori receptie dikemukakan oleh Prof. Christian Snoock Hurgronye dan dikembangkan kemudian oleh van Vollenhoven dan Ter Haar. Teori ini dijadikan alat oleh Snouck Hurgronye agar orang-orang pribumi jangan sampai kuat memegang ajaran Islam dan hukum Islam, dikhawatirkan mcreka akan sulit menerima, dan dipengaruhi dengan mudah oleh budaya barat[20].


2.  Tanggapan dan Pemikiran Prof. Hazairin Terhadap Teori Receptie
Dalam menanggapi teori Receptie, Prof. Hazairin menganggapnya bahwa teori Receptie adalah teori iblis[21]. Menurut Prof. Hazairin, umat islam tidak perlu lagi terjebak dalam kontroversi tentang status Hukum Islam hanya karena adanya propaganda dari teori iblis ini[22].
Dari tarik-menarik pengakuan teori berlakunya hukum, sebenarnya letak duduk persoalan utamanya adalah masalah kekuasaan (power). Muatan pokok teori receptie ini adalah prinsip divide at impera yang bertujuan untuk menghambat dan menghentikan meluasnya Hukum Islam dan membentuk konsep hukum tandingan yang mendukung politik pecah belah pemerintah kolonial[23].
Snouck mengkampanyekan teori receptie, yang kelihatannya melalui teori ini pemerintah kolonial memberi perhatian kepada hukum adat. Sebenarnya bukan hukum adatlah yang ingin dikuatkan, melainkan ini hanyalah sekedar cara untuk memalingkan masyarakat pribumi dari hukum Islam. Kemudian setelah berhasil maka tinggal membelokkannya untuk mendekat kepada ide-ide Barat, yang tentu saja diharapkan hasilnya akan memperkuat posisi Belanda menjadi penjajah[24].
Dengan berbagai pemikiran kemudian Prof. Hazairin membuat Teori receptie exit ini bentuk bantahan dari teori receptie. Yang mana setelah Indonesia merdeka, maka hukum yang diberlakukan di Indonesia adalah hukum pancasila berdasarkan ketuhanan yang maha esa tidak lagi hukum adat. Teori receptie harus exit karena bertentangan dengan al – qur'an dan sunnah.
Pendapat Prof. Hazairin dalam hal ini didasarkan pada pembukaan UUD 1945 alinea tiga yang menyatakan : "atas berkat rahmat alloh yang maha kuasa dan dengan didorong oleh keinginan luhur, supaya kehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya". Alinea empat : "Negara berdasarkan ketuhanan yang maha esa". Kedua rumusan diatas menggambarkan bahwa Negara Indonesia sangat akrab dengan keyakinan terhadap tuhan yang maha esa dan agama.[25]
Bagaimanapun, setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, syarat dan dasar berlakunya Hukum Islam dan Hukum agama-agama yang lain adalah pasal 29 ayat (1) dan (2) UUD 1945 yang berbunyi:
(1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa,
(2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Menurut Prof. Hazairin, dengan merujuk kepada pasal 29 ayat 1 UUD 1945, maka sebenarnya tidak perlu lagi terjadi pertentangan antara system hukum adat, hukum positif dan hukum agama[26]. Menurut Prof. hazairin istilah yang maha esa merupakan istilah kompromi. Walaupun telah diganti dengan istilah ketuhanan yang maha esa tidak berarti dapat menyingkirkan hukum islam atau hukum agama. Dengan istilah tersebut, hukum agama yang diberlakukan di Indonesia bagi penganut penganutnya bukan hukum islam saja, tetapi hukum agama-agama lain juga berlaku[27].
Perjuangan menerjang belenggu teori receptie secara prinsipal menampakkan hasilnya dengan terbitnya UUD 1945. Sebab, sudah sangat jelas dan tegas ketentuan yang ada di dalam Pembukaan UUD 1945 dan dalam pasal 29 pada Batang Tubuhnya. Secara instrumen undang-undang, teori ini sampai ajalnya dengan terbitnya UU No. 1/1974 tentang Perka-winan. Undang-undang ini diakui sangat kental berjiwa Islam[28].
3.  Tanggapan dan Pemikiran Prof. K.H. Yudian Wahyudi Terhadap Teori Receptie
Semua peraturan perundang-undangan Hindia Belanda yang berdasarkan Teori Receptie tidak berlaku lagi, alasan yang dikemukakan Prof. Hazairin menyatakan bahwa Teori Receptie itu harus exit alias keluar dari tata hukum Indonesia Merdeka. Teori Receptie bertentangan dengan Al-Qur'an dan Sunnah.
Sedangkan pemikiran Prof. K.H. Yudian Wahyudi mengenai Teori Receptie yaitu Sebuah upaya penyatuan Nilai-nilai adat dengan Hukum Islam atau mengisi Teori Recepti. Istilah yang digunakan Prof. K.H.Yudian Wahyudi yaitu dengan istilah lisanul kaum dengan teori kesinambungan dan perubahan ( continuity, change, transcendence)[29].
Tanggapan yang diberikan Prof. K.H.Yudian Wahyudi terhadap Teori Receptie yaitu dengan Teori Receptie itu sendiri. Maksudnya adalah dengan memahami lisanul qaum atau mengikuti arus yang ada Teori Receptie tetap berlaku tetapi nilai dari Receptie itu yang harus dirubah. Apa yang tidak bisa dirubah seluruhnya, tidak ditinggalkan seluruhnya atau menarik maslahah didahulukan dari mendapat mafsadah.
 Aplikasi dalam teori Prof. K.H.Yudian Wahyudi yaitu dengan teorinya kesinambungan dan perubahan ( continuity, change, transcendence) yaitu Fakultas syari'ah bergelar S.HI tidak cukup, tetapi harus dibarengi dengan gelar S.H untuk memahami lisanul kaum. Maksudnya apa ? Fakultas Syari'ah Prodi Hukum bergelar S.H. Ketika seseorang hanya bergelar S.HI, maka dia akan kalah dengan yang lainnya, tetapi ketika seseorang bergelar S.HI dan S.H maka dia akan mendapatkan kehormatan yang lebih. Pertama dia bisa sejajar dengan yang lain, dan yang kedua akan mendapatkan kehormatan yang lebih berupa nasl dan mal. Ketika dia bergelar S.HI hanya mendapatkan din dan nafs tetapi setelah S.H maka akan mendapat maqasid yang lima : din, nafs, hurmah, nasl, dan mal.
Aplikasi lain dari terinya prof. Yudian Wahyudi yaitu pondok pesantren mempelajari ilmu umum. Jika ingin maju, kita harus memfardhuainkan ilmu farhdu kifayah–matematika, IPA, dan bahasa Inggris haruslah menjadi kurikulum inti sebagai bagian keimanan sebagaimana halnya ilmu keislaman pola pondok pesantren. Exsprimental sciences jangan dihilangkan dalam kurikulum pondok pesantren untuk mendapatkan lisanul qaum dan teori kesinambungan dan perubahan ( continuity, change, transendence).
Dalam menanggapi Teori Receptie Prof. K.H.Yudian tidak mengambil Teori Receptie semua dan tidak merubah semuanya menjadi Hukum Islam. Tetapi menggunakan teori filsafat garam yang dikemukakan oleh Hatta yaitu tidak mesti memamerkan identitas islam tetapi sangat berpengaruh. substansi lebih penting daripada kulit[30].
Penonjolan aspek Islam dengan hanya menempati aspek substansial dalam konstitusi negara ini sebenarnyalah mempunyai makna berharga. Mungkin masih maraknya kekakuan mendirikan negara Islam adalah disebabkan karena kurang siapnya menangkap Islam menjadi satu kesatuan jalan hidup. Setidaknya salah satu upaya memaknai Islam sebagai kesatuan cara hidup yang menyatu, menurut Prof. Yudian, telah dipraktekkan Hatta dalam mengibarkan kata “Ketuhanan Yang Maha Esa”[31].
Dengan langkah ini, Hatta menghantam komunisme sejak dini, tetapi sekaligus mengibarkan bendera Tauhid.Hatta menye-imbangkan antara kepentingan agama dengan tetap terjaganya kesatuan tanah air. Di sinilah makna strategis konstitusional Hatta. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, sesuai dengan langkah Hatta, sudah mengakomodir Tauhid bagi umat Islam (sehingga wajar jika ia didaulat sebagai Bapak Pemersatu Konstitusional ketika mengganti tujuh kata dari Pancasila, yang kemudian dimasukkan kembali ke dalam Piagam Jakarta, dengan “Yang Maha Esa” sebagai pilihannya). Tujuh kata itu, bagi Hatta, adalah gincu: tampak tapi tidak berpengaruh. Sebaliknya, “Yang Maha Esa” adalah garam, karena tidak memamerkan identitas Islam tetapi sangat berpengaruh.
Dari paparan diatas penulis bisa mengambil kesimpulan bahwa, Teori Receptie yang pada waktu itu sebagai bentuk penggunaan hukum adat di Indonesia, tidak dapat dihilangkan total. Karena apa ? karena Islam masuk di Indonesia yang dibawa oleh para Wali juga menggunakan Adat yang berlaku pada saat itu tetapi cara dan bentuknya menggunakan Nilai-nilai Islam. Tidak harus menggunakan Undang-undang Islam atau Mendirikan Negara Islam tetapi Nilainya yang Nilai-nilai Islam sebagaimana sudah tertuang dalam Pancasila.walaupun bentuk Negara ini Nasionalis bukan berarti mengeyampingkan nilai Islam didalamnya. Itu terbukti ketika Indonesia menjadi satu tanah air tanpa ada sekte-sekte Negara sendiri. Seandaniya Negara yang dipakai Negara islam, tidak nasionalis, mungkin Indonesia tidak satu tetapi terpecah belah menjadi beberapa Negara.
4.  Perbandingan dan Aplikasi Teori Prof. Hazairin dan Prof. K.H. Yudian Wahyudi
Hal yang sangat menarik dari dua tokoh ini (Prof. Hazairin dan Prof. K.H. Yudian Wahyudi) adalah, keduanya sama-sama mengomentari Teori Receptie dengan sudut pandang yang berbeda.

Disini penulis simpulkan perbandingan Teori yang di tawarkan Prof. Hazairin dan Prof. K.H. Yudian Wahyudi untuk menanggapi Teori Receptie yaitu :
a.       Prof. Hazairin dengan Teori Receptie Exit sedangkan Prof. K.H. Yudian Wahyudi menggunakan istilah lisanul kaum dan teori kesinambungan dan perubahan ( continuity, change, transendence).
b.      Prof. Hazairin merubuhkan Teori Receptie total menjadi Pancasila sedangkan Prof. K.H. Yuadian Wahyudi mengisi Teori Receptie.
c.       Prof. Hazairin lebih memberikan teori dalam menanggapi Teori Receptie daripada menerapkan aplikasi, sedangkan Prof. K.H. Yudian Wahyudi memberikan teori sekaligus menerapkan aplikasi dan contoh dalam menanggapi Teori Receptie.
Dari perbandingan diatas, penulis lebih sepakat dengan Prof. K.H. Yudian Wahyudi karena lebih bersifat toleransi/lembut dalam menanggapi Teori yang sudah ada. Tidak harus menghapus teori yang sudah ada, tetapi mengisi teori yang ada sebagai bentuk perubahan.
D. Analisis Penulis Terhadap Prof. Hazairin dan Prof. K.H. Yudian Wahyudi
Sebelum hukum barat diterapkan di bumu Nusantara, hukum yang berlaku yaitu hukum adat dan hukum Islam, itu terbukti dengan adanya Teori Receptie in Complexu . Lalu dengan berkembangnya agama Islam, hukum Islam sebagai hukum yang berhubungan dengan keyakinan agama mendapat tempat tersendiri dalam kerajaan-kerajaan Islam Nusantara. Kemudian setelah masuknya kolonial Belanda, ada tiga system hukum Islam, Adat, dan Barat (Belanda) yang berlanjut sampai sekarang.
Terlepas dari teori ini, hukum Islam dalam kenyataan sejarah telah menyatu dengan budaya hukum bangsa Indonesia. Dalam beberapa suku bangsa, antara hukum adat dan hukum Islam bahkan merupakan suatu kesatuan yang integral.
Teori Receptie menyatakan, hukum yang berlaku bagi umat Islam adalah hukum adat mereka masing-masing. Hukurn Islam dapat berlaku apabila telah diresepsi oleh hukum adat, jadi hukum adatlah yang menentukan ada tidaknya hukum Islam. Teori ini dikemukakan oleh Snouck Hurgronje.
Kemudian muncullah Teori Receptie Exit yang digagas oleh Prof. Hazairin sebagai bentuk bantahan dari Teori Snouck. Prof. Hazairin merubah total Teori Receptie dengan pancasila. Kemudian muncullah teori kesinambungan dan perubahan ( continuity, change, transcendence) untuk memahami lisanul kaum. Teori ini dipopulerkan oleh Prof. K.H. Yudian Wahyudi.
Dua tokoh diatas sangat luar biasa dengan teori keduanya sama-sama ingin menjaga eksistensi nilai islam tanpa harus menggunakan identitas islam. Tanggapan dan pemikiran dua tokoh itu juga karena adanya teori pemberlakuan hukum adat, sedangkan hukum islam bisa dilaksanakan kalu sudah diterima oleh adat, hukum adat pada waktu itu adalah system hukum yang diterapkan oleh kolonial belanda.
E. Penutup
Dewasa ini seharusnya hukum haruslah objektif. Ia tidak boleh memihak si fulan untuk menindas si fulan. Teori tentang keberlakuan hukum juga harus netral dan bebas kepentingan baik politik, ekonomi maupun kekuasaan. Teori keberlakuan hukum ini telah terjadi saat Snouck memunculkan teori receptie. Dengan teori ini, keberlakuan hukum Islam baru bisa dikatakan sah jika telah diserap, diterima dan tidak berten-tangan dengan hukum Adat.
Untuk mengetahui corak atau bentuk teori Receptie, kelihatan sekali bahwa mengandung kepentingan politis. Teori ini untuk menangkis berlakunya hukum Islam karena memiliki potensi bertentangan dengan hukum Belanda. Dengan diberlakukannya hukum islam, Belanda kawatir akan kehilangan harga dirinya. Oleh karena itu, Belanda membaca gejala ini sehingga menggunakan sarana hukum Adat untuk memonopoli hukum Islam.
Teori receptie ini sangat kuat hingga membutuhkan banyak alat hukum untuk menghentikannya. Tetapi akhirnya teori ini sirna ketika adanya Pembukaan UUD 1945 dan pasal 29 batang tubuhnya. Pasal 29 menyatakan bahwa negara menjamin hak asasi bagi setiap orang menjalankan ajaran agamanya, baik dalam hal ibadah maupun hukumnya.
Islam telah berjasa menjaga keutuhan Indonesia dalam perumusan konstitusi. Pada saat perumusan Piagam Jakarta, sempat terjadi perdebatan terkait redaksinya; antara formalisasi Islam ataukah susbstansialisi Islam. Gejala formalisasi telah nampak dengan pencan-tuman tujuh kata Islam dalam sila I Pancasila. Pilihan ini mendapat reaksi keras sampai ada ancaman rakyat Indonesia Timur yang tidak beragama Islam enggan bergabung dalam NKRI.
Polemik ini akhirnya bisa diselesaikan Hatta yang telah mencoret tujuh kata tersebut dengan ganti redaksi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Keesaan ini meskipun melambangkan redaksi yang bisa diterima oleh agama lain, sebenarnya masih sejalan dengan spirit Islam yakni Tauhid (mono-theisme). Dengan demikian, Hatta telah berhasil menjaga kesatuan bangsa tanpa harus menghilangkan substansi ajaran Islam. Pancasila yang diidealkan Hatta juga memusatkan jiwanya pada sila pertama. Menurutnya, perjalanan kehidupan negara ini mempunyai pegangannya dengan landasan spiritual ketuhanan.
Dari sejarah diatas, sehaarusnya menjadi patokaan bagi pembuat hukum dengan melihat kemaslahatan ummat. Pembentukan Undang-undang harus bersifat bersih tanpa harus ada unsur-unsur yang mempengaruhi dan merusaknya.


Daftar Pustaka
Azis Dahlan, Abdul. et al. Ensiklopedia Hukum Islam (Jakarta : PT Ichtiar Baru van Hoeve, 1996).
Amin Nasution, Muhammad, DECONSTRUCTION TOWARDS  ISLAMIC INHERITANCE LAW IN INDONESIA (A Brief Study on Hazairin’s Bilateral Inheritance Idea) (Jurnal Al-Khairi, Volume 1 Tahun 2007).
Anshoruddin ( Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Agama Pontianak)  BEBERAPA TEORI TENTANG BERLAKUNYA HUKUM ISLAM DI INDONESIA.
Fuad, Mahsun, Hukum Islam Indonesia: Dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris (Yogyakarta: LKiS,2005).
Rosyadi, Rahmad dan Rais Ahmad, Formalisasi Syariat Islam dalam Perspektif Tata Hukum Indonesia (Bogor : Ghalia Indonesia, 2006 ).
Sugiono, Sukiati, Islamic Legal Reform In Twentieth Century Indonesia: A Study Of Hazairin's Thought (Montreal, Canada : Institute of Islamic Studies McGill University ,1999).
Sirajuddin, Legislasi Hukum Islam Indonesia (Bengkulu: Pustaka Pelajar, 2008).
Tobroni, Faiq, Keberhasilan Hukum Islam Menerjang Belenggu Kolonial dan Menjaga Keutuhan Nasional ) UNISIA, Vol. XXXII No. 72, Desember 2009).
Wahyudi, Yudian, Ushul Fikih Versus Hermeneutika : Membaca Islam Dari Kanada Dan Amerika (Yogyakarta:Pesantren Nawesea Press,2006).
Wahyudi, Yudian, MAQASHID SYARI'AH DALAM PERGUMULATAN POLITIK : Berfilsafat Hukum Islam dari Harvard ke Sunan Kalijaga (Yogyakarta : Nawesea Press, 2006).
Wahyudi, Yudian, DINAMIKA POLITIK : Kembali Kepada Al-Qur'an Dan Sunnah Di Mesir, Maroko Dan Indonesia (Yogyakarta:Nawesea Press, 2007).
Wahyudi, Yudian, Perang Diponegoro : Tremas, SBY dan Ploso (Yogyakarta: Cakrawala Media, 2012).



[1]Diakui umum berarti diakui oleh hakim-hakim belanda pada waktu itu.
[2]Sirajuddin, Legislasi Hukum Islam Indonesia (Bengkulu: Pustaka Pelajar, 2008),hal. 79.
[3]Christian Snoock Hurgronye pada masa itu menjabat sebagai penassehat pemerintahan kolonial tentang pribumi dan urusan-urusan Islam (Sirajuddin, 2008), hal.80.
[4]Sukiati Sugiono, Islamic Legal Reform In Twentieth Century Indonesia: A Study Of Hazairin's Thought (Montreal, Canada: Institute of Islamic Studies McGill University,1999), hal. 7.
[5]Muhammad Amin Nasution, DECONSTRUCTION TOWARDS  ISLAMIC INHERITANCE LAW IN INDONESIA (A Brief Study on Hazairin’s Bilateral Inheritance Idea) (Jurnal Al-Khairi, Volume 1 Tahun 2007). Hal. 74.  
[6]Abdul Azis Dahlan. et al. Ensiklopedia Hukum Islam (Jakarta : PT Ichtiar Baru van Hoeve, 1996),hal.537.
[7]Abdul Azis Dahlan. et al. Ensiklopedia Hukum Islam ,hal.537.
[8]Abdul Azis Dahlan. et al. Ensiklopedia Hukum Islam ,hal.538.
[9]Abdul Azis Dahlan. et al. Ensiklopedia Hukum Islam ,hal.538.  
[10]Muhammad Amin Nasution, DECONSTRUCTION TOWARDS  ISLAMIC INHERITANCE LAW IN INDONESIA (A Brief Study on Hazairin’s Bilateral Inheritance Idea), Hal. 76.  
[11]Muhammad Amin Nasution, DECONSTRUCTION TOWARDS  ISLAMIC INHERITANCE LAW IN INDONESIA (A Brief Study on Hazairin’s Bilateral Inheritance Idea), Hal. 76. 
[12]Yudian Wahyudi, Ushul Fikih Versus Hermeneutika : Membaca Islam Dari Kanada Dan Amerika (Yogyakarta:Pesantren Nawesea Press,2006), hal.135.
[13]Yudian Wahyudi, Ushul Fikih Versus Hermeneutika Membaca Islam Dari Kanada Dan Amerika, hal.135.
[14]Yudian Wahyudi, MAQASHID SYARI'AH DALAM PERGUMULATAN POLITIK : Berfilsafat Hukum Islam dari Harvard ke Sunan Kalijaga (Yogyakarta : Nawesea Press, 2006), hal 106.
[15]Yudian Wahyudi, DINAMIKA POLITIK : Kembali Kepada Al-Qur'an Dan Sunnah Di Mesir, Maroko Dan Indonesia (Yogyakarta:Nawesea Press, 2007), hal. 143.
[16]Yudian Wahyudi, Perang Diponegoro : Tremas, SBY dan Ploso (Yogyakarta: Cakrawala Media, 2012), hal.96.
[17]Yudian Wahyudi, DINAMIKA POLITIK : Kembali Kepada Al-Qur'an Dan Sunnah Di Mesir, Maroko Dan Indonesia, hal. 147. 
[18]Yudian Wahyudi, DINAMIKA POLITIK : Kembali Kepada Al-Qur'an Dan Sunnah Di Mesir, Maroko Dan Indonesia, hal. 147.
[19]Anshoruddin ( Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Agama Pontianak)  BEBERAPA TEORI TENTANG BERLAKUNYA HUKUM ISLAM DI INDONESIA, hal.4.
[20] Anshoruddin ( Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Agama Pontianak)  BEBERAPA TEORI TENTANG BERLAKUNYA HUKUM ISLAM DI INDONESIA, hal.4.
[21] Disebut teori Iblis, karena menurut Hazairin teori ini yang menghalang-halangi berlakunya hukum Islam di Indonesia serta mengajak orang Islam untuk tidak mematuhi dan melaksanakan perintah Allah dan Sunnah Rasul-Nya. 
[22]Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia: Dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris (Yogyakarta: LKiS,2005),hal.77.  
[23]Faiq Tobroni, Keberhasilan Hukum Islam Menerjang Belenggu Kolonial dan Menjaga Keutuhan Nasional ) UNISIA, Vol. XXXII No. 72, Desember 2009), hal.203.
[24]Faiq Tobroni, Keberhasilan Hukum Islam Menerjang Belenggu Kolonial dan Menjaga Keutuhan Nasional , hal.203.
[25]Rahmad Rosyadi dan Rais Ahmad, Formalisasi Syariat Islam dalam Perspektif Tata Hukum Indonesia (Bogor : Ghalia Indonesia, 2006 ),hal. 82.
[26] Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia: Dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris, hal.77.
[27]Rahmad Rosyadi dan Rais Ahmad, Formalisasi Syariat Islam dalam Perspektif Tata Hukum Indonesia,hal. 82.  
[28]Faiq Tobroni, Keberhasilan Hukum Islam Menerjang Belenggu Kolonial dan Menjaga Keutuhan Nasional , hal.202. 
[29]Materi disampaikan oleh Prof. Yudian Wahyudi dalam materi dan diskusi pembelajaran kelas tanggal 14  Desember 2015.
[30]Yudian Wahyudi, MAQASHID SYARI'AH DALAM PERGUMULATAN POLITIK : Berfilsafat Hukum Islam dari Harvard ke Sunan Kalijaga, hal.37.
[31]Materi disampaikan oleh Prof. Yudian Wahyudi dalam materi dan diskusi pembelajaran kelas tentang Islam dan Nasionalisme: Sebuah Pendekatan Maqasid Syari'ah,  tanggal  21 Desember 2015.

0 komentar:

Posting Komentar