Jumat, 15 Januari 2016

METODE KRITIK MATAN, MODEL, IMPLEMENTASI DAN PROBLEMATIKANYA

METODE KRITIK MATAN, MODEL, IMPLEMENTASI DAN PROBLEMATIKANYA
Oleh :
Yasin Yusuf Abdillah
BAB I
PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang
Hadis kerupakan sumber hukum islam yang kedua setelah al-qur'an. Aq-qur'an tidak lagi diragukan kesahihan ayat-ayatnya karena al qur'an diwahyukan langsung oleh Alloh SWT. Sedangkan hadis, tidak semua hadis bisa dijadikan hujjah atau patokan dalam hukum islam, ada hadis yang shahih dan bisa digunakan da nada hadis yang mardud dan tidak bisa dipakai. Oleh karena itulah perlu adanya penelitian hadis terutama penelitian dalam matan hadis.
Terdapat sejumlah matan yang tidak dapat disandarkan kepada nabi, meskipun sanadnya tampak tsiqah. Dengan kata lain sanad yang tsiqah tidak harus berarti matannya juga terpercaya.[1]
Ulama hadis berpendapat kritik matan harus didahului oleh kritik sanad. Dengan kata lain, sebuah hadis yang sudah dinyatakan lemah dari segi sanadnya, maka upaya terhadap kritik matan tidak lagi menjadi kewajiban, karena hadis tersebut sudah dianggap tidak memenuhi syarat dijadikan hujjah.[2]
Tetapi pada kenyataannya, matan hadis yang sampai kepada kita sekarang ini adalah sangat berkaitan dengan sanad hadis, sanad itu sendiri masih diperlukan penelitian yang sangat cermat. Oleh karena itu, kritik matan juga harus dilakukan dengan cermat juga. Tujuannya adalah, supaya hadis yang sampai ke tangan kita benar-benar sahih, dan amanah hadis yang disampaikan kepada kita tidak sia-sia dan kita tidak keliru dalam menjalankannya.
Penelitian matan hadis ini bertujuan untuk menghindari kemunkinan-kemungkinan ada penambahan atau kejanggalan dan cacat dalam hadis didalam rawi yang tsiqah. Adapun untuk metode penelitian matan hadis akan penulis sampaikan di pembahasan berikutnya.
Dari beberapa pernyatan-pernyataan diatas, kritik matan hadis sangat penting dilakukan karena menyangkut masalah kedudukan hadis itu sendiri sebagai sumber hukum kedua setelah al qur'an. Kritik matan untuk mencari kebenaran isi hadis, bukan untuk meragukan hadis apa benar berasal dari nabi atau tidak.
  1. Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian kritik matan hadis ?
2.      Bagaimana latar belakan sejarah kritik matan hadis ?
3.      Bagaimana metodologi kritik matan hadis ?
4.      Bagaimana Implementasi kritik matan hadis dalam hukum keluarga ?
  1. Tujuan dan Manfaat Pembahasan
1.      Untuk mengetahui dan memahami pengertian kritik matan hadis
2.      Untuk mengetahui dan memahami latar belakang, perkembangan dan sejarah kritik matan hadis
3.      Untuk mengetahui dan memahami metodologi kritik matan hadis
4.      Untuk mengetahui dan memahami Implementasi kritik matan hadis dalam huku keluarga
  1. Batasan Masalah
Karena pembahasan mengenai studi kritik hadis sangat luas, yaitu terdiri dari sanat, matan, dan juga rawi hadis, maka penulis membatasi pembahasan masalah ini hanya dalam ruang lingkup matan hadis. Penulis akan memaparkan pengertian, sejarah, metode, dan implementasi kritik matan hadis dalam hukum keluarga.

BAB II
PEMBAHASAN
  1. Pengertian kritik Matan Hadis
1.    Pengertian naqd ((النقد
Secara etimologi, kata  نقد- ينقد نقدberarti meneliti dengan seksama. Sedangkan naqd ( (النقدdalam bahasa arab berarti kritik[3]. Kritik itu sendiri berarti menghakimi, membanding, menimbang.[4] Naqd dalam bahasa arab popular berarti penelitian, analisis, pengecekan, dan pembedaan. Selanjutnya dalam pembicaraan umum orang Indonesia, kata kritik berkonotasi pengertian bersifat tidak lekas percaya, tajam dalam penganalisaan, dan uraian pertimbangan baik buruk terhadap suatu karya.[5]
Sedangkan kritik hadis menurut terminology ada beberapa defendisi. Menurut Ibnu Abi Hatim al Razi (w.327 ) sebagaimana dikutip oleh M. Mustafa al-A'zami dan dikutip lagi oleh Hasjim Abbas adalah :
على الرواة توثيقا و تجريحا تمييز الاحاديث الصحيحة من الضعيفة والحكم  
"Upaya menyeleksi (membedakan ) antara hadis shahih dan dhaif dan menetapkan status perawi-perawinya dari segi kepercayaan atau cacat".[6]
Menurut Muhammad Thahir al-Jawaby
"Ilmu kritik hadis adalah ketentuan terhadap para perawi hadis baik kecacatan ataupun keadilannya dengan menggunakan lapaz lapaz tertentu yang dikenal oleh ulama-ulama hadis. Kemudian meneliti matan-matan hadis yang telah dinyatakan shahih (sanadnya) untuk menentukan keshahihan atau ke dhaifan matan hadis tesebut, mengatasi kesulitan (pemahaman) dari hadis yang telah dinyatakan shahih, mengatasi kontradiksi (pemahaman) hadis dengan pertimbangan yang mendalam"
Dari beberapa defendisi daan pengertian diatas, penulis menyimpulkan bahwa kata kritik bisa diartikan sebagai upaya membedakan antara yang benar (asli) dan yang salah (palsu) dalam penelitian dan analisis hadis Nabi Muhammad SAW.
2. Pengertian matn ((المتن
Secara etimologi matn المتن)) berarti punggung, tanah tinggi yang keras, yang kokoh, kuat.[7]
المتن هو نص الرواية او نص الحديث[8]
"Matan adalah teks riwayat atau teks hadis"
Sedangkan matn menurut termimologi adalah :
المتن هو ماانتهى اليه السند من الكلام[9]
"Matan (isi hadis) adalah perkataan yang berbatasan dengan ujung sanad"
Defendisi lain yaitu :
الفاظ الحديث التى تتقوم بها معانيه[10]
"Ungkapan – ungkapan hadis yang menunjukkan maksud hadis tersebut"
Dari pengertian di atas, penulis mengambil kesimpulan bahwasanya matan adalah penghujung sanad, setelah disebutkan sanad yakni matan hadis (isi hadis) berupa ucapan, perbuatan, dan juga ketetapan Nabi Muhammad SAW.
Jika kritik sanad lazim dikenal dengan istilah kritik ekstern ( al naqd al khariji) maka kritik matam lazim dikenal dengan kritik intern (al naqd al-dakhili).[11] Dalam buku itu juga ditegaskan bahwa, kritik sanad diperlukan untuk mengetahui apakah perawi itu jujur, takwa, kuat hafalannya, dan apakah sanadnya bersambung atau tidak. Sedangkan kritik matan diperlukan untuk mengetahui apakah hadis tersebut mengandung berupa syadz atau illat.
Istilah kritik matan hadis, dipahami sebagai upaya pengujian atas keabsahan matan hadis. Yang dilakukan untuk memisahkan antara matan-matan hadis yang shahih dan yang tidak shahih. Dengan demikian krtik matan tersebut bukan dimaksudkan untuk mengoreksi atau menggoyahkan dasar ajaran islam dengan mencari kelemahan sabda rasulullah, akan tetapi diarahkan telaah redaksi dan makna guna menetapkan keabsahan suatu hadis[12].
Penelitian terhadap aspek matan hadis ini mengacu pada kaedah kesahihan matan hadis sebagai tolak ukur, yakni terhindar dari syadz dan illat .
  1. Pengertian Hadis (الحديث)
            Secara etimologi hadis الحديث)) adalah yang baru, cerita, kabar.[13] Sedangkan hadis menurut terminologi ada beberapa pengertian hadits. Pertama Menurut ahli hadits dan yang kedua Menurut ulama’ ushul. Hadis menurut ahli hadis sama dengan sunnah, yaitu :
معنى الحديث في اصطلاح المحدثين : هو اقوال النبي ص.م. وأفعاله وتقريراته وصفاته الخلقية و الخلقية[14].
"Perkataan Nabi SAW, dan perbuatannya, dan ketetapannya/tindakannya dan  karakteristik bawaan dan perkembangan".
السنة فى اصطلاح المحدثين : هي كل ما اثر عن الرسول صلى الله عليه و سلم من قول او فعل او تقرير او صفة خلقية او خلقية او سيرة سواء كان ذالك قبل البعثة كتحنثه فى غار حراء ام بعده[15].
"sunnah dalam pengertian ahli hadis adalah segala riwayat yang berasal dari Rasululloh baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan (taqrir), sifat fisik dan tingkah laku beliau, baik sebelum diangkat menjadi rasul (seperti kontemplasi spiritual/tahannus beliau di gua hira) maupun sesudahnya".
Sedangkan ulama ushul juga menyamakan antra hadis dan sunnah, hadis menurut ulama ushul yaitu :
السنة فى اصطلاح علماء اصول الفقه : هي كل ماصدر عن النبي صلى الله عليه و سلم غير القراء الكريم من قول او فعل او تقرير مما يصلح ان يكون دليلا لحكم الشرعى[16].
"Al-Sunnah menurut pengertian ulama Ushul Fiqh adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW selain al-Qur'an, berupa perkataan, perbuatan maupun ketetapan (taqrir) beliau, yang dapat dijadikan sebagai dalil hukum syari'ah".
  1. Fungsi hadis terhadap al qur’an
Karena Hadis merupakan sumber hukum Islam yang kedua, tentunya penting bagi kita untuk mengetahui apa fungsi hadis terhadap al Qur'an ?. Adapun fungsi Hadits terhadap al Qur'an[17] yaitu:
1.      Penjelas dan penegas ayat-ayat al Qur'an yang masih bersifat umum.
2.      Pembuat hukum bagi ketentuan hukum yang tidak ada dalam al Qur'an.
3.      Memperkuat dan menetapkan hukum-hukum yang telah ditentukan oleh al Qur'an (sebagai bayan taqrir)[18].
Adapun pengertian kritik matan hadits dari pengertian-pengertian di atas adalah mengkaji, menganailsa maupun mengevaluasi hadits yang memiliki kerancuan dalam matan karena memiliki unsur-unsur pertentangan dengan Alquran maupun hadits-hadits nabi yang lainnya, sehingga membutuhkan penjelasan-penjelasan dengan metode-metode yang sudah ditentukan.
Dengan kata lain kita juga bisa mengartikan pengertian kata atau istilah kritik di atas,  bahwa yang dimaksud dengan kritik matan hadis naqd al-matn atau naqd ad dakili dalam konteks ini ialah usaha untuk menyeleksi matan-matan hadis sehingga dapat ditentukan antara matan-matan hadis yang sahih atau lebih kuat dan yang tidak.
Sedangkan kajian terhadap masalah-masalah yang menyangkut matan disebut naqd al-matan (kritik matan) atau kritik intern, atau kritik ad dahili,. Disebut demikian karena yang dibahasnya adalah materi hadis itu sendiri, atau teks, atau isi, yakni perkataan, perbuatan atau ketetapan Rasulullah SAW.
  1.  Sejarah kritik matan Hadis
  1. Pada masa rasul
Kalau kita berbicara mengenai sejarah kritik matan hadis, ternyata sejak zaman rasululloh sudah ada kritik matan hadis. Kritik matan hadis pada zaman rasululloh dimaksudkan untuk menjaga dan keabsahan berita. Kritik matan hadits pada masa nabi rasululloh sendiri, lebih mudah dan sederhana karena sistim kritik matan hadits adalah dengan langsung mengkonfirmasikan hadits yang bersangkutan kepada rasul jika terjadi kerancuan dan kekurangpahaman. 
Praktik penyelidikan atau pembuktian untuk meneliti hadis Nabi pada masa itu  tercermin dari kegiatan para sahabat pergi menemui atau merujuk kepada Nabi untuk membuktikan apakah sesuatu benar-benar telah dikatakan oleh beliau? Apakah hadis tersebut shahih, benar atau salah ?.
Seperti pada kronologi yang diriwayatkan oleh abu buraidah, tentang seorang pria yang tertolak pinangannya untuk mempersunting wanita banu laits. Lokasi pemukiman kabilah itu kurang lebih 1 mil dari madinah.[19] Dilanjutkan dalam kisahnya bahwa, ia tampil berbusana kostum dimana potongan, warna dasar dan ciri-ciri lain yang benar-benar mirip busana keseharian Nabi Saw. Kedatangan pria itu, seperti pengakuannya membawa pesan dari Nabi Muhammad Saw untuk singgah di rumah siapa pun yang dalam versi riwayat lain untuk membuat perhitungan hukum sendiri. Ternyata pilihan rumah jatuh kepada kediaman orang tua gadis yang ia gagal meminangnya. Segera warga kabilah banu laits mengirim kurir agar menemui Nabi Saw dengan tujuan untuk konfirmasi atas pengakuan sepihak pemuda tersebut. Secepat itu berita sampai pada Nabi, beliau langsung menugasi Abu Bakar dan Umar Ibn Khattab untuk menangkap pria itu, ternyata ia seorang munafik dan menjatuhkan hukuman (bunuh) di tempat.[20]
Pada masa nabi, kritik hadis seperti sangat mudah, karena keputusan tentang otentitas sebuah hadis berada di tangan nabi sendiri. Lain halnya sesudah nabi wafat, kritik hadis tidak dapat dilakukan dengan menanyakan kembali kepada nabi, melainkan dengan menanyakan kepada orang yang ikut mendengar atau melihat hadis itu dari nabi, seperti yang dilakukan oleh abu bakr as siddiq.[21]
  1. Masa sahabat
Pada periode sahabat menurut pengamatan al-Hakim (w. 405 H) dan al-Dzahabi (w. 748 H) adalah Abu Bakar al-Shiddiq (w. 13 H) sebagai tokoh perintis pemberlakuan uji kebenaran informasi hadis. Motif utama penerapan kritik hadis adalah dalam rangka melindungi jangan sampai terjadi kedustaan dengan mengatasnamakan Rasulullah Saw. Motif seperti ini terungkap pada pernyataan Umar Ibn Khattab kepada Abu Musa al-Asy’ari: “saya sesungguhnya tidak mencurigai kamu, akan tetapi saya khawatir orang (dengan seenaknya) memperkatakan sesuatu (baca: mengatasnamakan) pada Rasulullah) pada Rasulullah Saw”.[22]
Kaidah kritik lebih tertuju pada uji kebenaran bahwa Rasulullah Saw jelas -jelas menginformasikan hadis itu prosedurnya mencerminkan upaya memperoleh hasil dari perujukan silang kyang saling membenarkan terhadap fakta kehadisan sebagaimana diberitakan oleh sahabat tertentu. Pola perujukan silang berintikan muqarnah atau perbandingan antar riwayat dan sesama sahabat. Pola muaranah antar riwayat ini kelak menyerupai praktek I’tibar guna mendapatkan data syahid al-hadits agar asumsi kemandirian sahabat periwayat hadis bisa dibuktikan.  Syahid al-hadits adalah periwyatan serupa isi matan hadis, mungkin ada kemiripan struktur kalimatnya dan mungkin hanya semakna saja, oleh sahabat lain yang dapat disejajarkan sebagai riwayat pendukung. Cara yang dilakukan cukup meminta agar shaat periwayat hadits berhasil mendatangkan perorangan sahabat lain yang memberi kesaksian atas kebenaran hadits nabawi yang ia beritakan. Langkah metodologis tersebut berkesan seakan-akan kalangan sahabat tidak bersedia menerima informasi hadis kecuali dibuktikan oleh kesaksian minimal 2 (dua) orang yang sama-sama menerima hadis tersebut dari rasulullah Saw.[23]
Pemberlakuan metode kitik internal hadis seperti contoh diatas dalam bukunya Hasjim Abbas lebih diorientasikan sebagai peletakan disiplin bagaimana prosedur penerimaan setiap informasi yang diasosiasikan kepada nabi Saw harus ditegakkan dan umat islam tidak boleh terburu-buru mempercayai pemberitaan seperti itu.
Akan tetapi norma kritik itu tidak mutlak harus diberlakukan; sebab dalam batas tidak ada keraguan, betapa substansi matan hadisnya mengenai materihukum yang berdampak jauh, terjadi sikap penerimaan periwayatan sahabat tunggal tanpa menuntut dukungan kesaksian. Misalnya[24]:
1. Ali bin Abi thalib segera mempercayai penjelasan hadis Nabi tentang shalat taubah yang disampaikan oleh Abu Bakkar al-Shiddiq
2. Khalifah Umar bin Khattab menerima saran Abdurrahman bin ‘Auf perihal petunjuk nabi Saw dalam rangka mengantisipasi wabah penyakit yang yang melanda daerah npemusatan angkatan perang islam
3. Usman bin ‘Afan menerima pemberitaan Fura’iah binti Malik perihal mantan istri ber-‘iddah karena kematian suami dirumah duka.
Tradisi kritik esensi matan hadis dilingkungan sahabat selain menerapkan kaidah muqaranah antar riwayatseperti contoh-contoh di atas, berlaku juga kaidah mu’aradhah. Namun skala penerapan metode mu’arahlah pada periode sahabat belum sepesat periode berikutnya, tabi’in. metode mu’aradhah intinya adalah konsep pencocokan konsep yang menjadi muatan pokok setiap matan hadis, agar tetap terpelihara kebertauutan dan keselarasan antar konsep dengan hadis (sunnah) lain dan dengan dalil syari’ah yang lain. Langkah pencocokan itu juga dilakukan dengan peunjuk eksplisit al-Qur’an (dzahir al-Qur’an), pengetahuan kesejarahan (sirah nabawiyah) dan dengan; penalaran akal sehat. Langkah metodologis mu’aradhah serpa dengan critical approarch pada penelitian pemikiran tokoh. Konsep dan seluruh aspek pemikiran tokoh dianalisis sevara tepat dan mendalam keselarasannya atu sama lain. Dari pola analisis tersebut didapat koherensi intern atau pertautan antar narasi pemikiran tokoh yng diteliti.[25]
Dilanjutkan dalam bukunya Hasjim Abbas, Uji kecocokan hadis dengan petunjuk eksplist al-Qur’an, mislnya pengkuan pribadu Fatimah binti Qais al-Quraysyiyah, bahwa ketika dirinya dinyatakan jatuh thalaq ba’in oleh suaminya, Rasulullah saw tidak memberikan fasilitas nafaqahk maupun tempat kediamanatas beban suaminya selama menjalani masa ‘iddah (HR. muslim dan Abu Dawud).[26] Kkhalifah Umar bin khattab menolak pengakuan tersebut yang diasosiasikan kepada nabi Saw, karena menurut keyakinan pribadinya, informasi hadis tersebut ternyata bertentangan dengan petunjuk eksplisit al-Qur’an seperti terbaca pada surat al-Thalaq: 49 dan 51. saat itu Umar bin Khatab menyatakan sikapnya:
قال عمر الخطاب: لانترك كتاب ربنا لقول امرأة لعلها حفظت او نسيت.  ( اخرجه مسلم وابو داود)
“kami tidak akan mengabalikan (kertentuan) kitab suci Tuhan, kami hanya karena ucapan seorang waniita yang mungkin ingat atau lupa”. (HR. Muslim dan Abi Dawud)
Ketika dilakukan mverifikasi data pada subjek Fathimah binti Qais, ternyata yang bersangkutan bermula mohon perkenan kepada nabi Saw untuk tidak tinggal di rumah keluarga suami selama menjalani masa iddah, dengan pertimbangan dilokasi perkampungan eks suami banyak bekeliaran binatang buas. Seperti terungkap pada koleksi al-Bukhary[27] dan Ibnu Majah serta Abu Dawud. Jadi pengakuan Fatimah binti Qais itu ekses dari persepsi pribadinya bahwa persetujuan nabi Saw itu mengisyaratkan tidak adanya fasilitas nafaqah dan tempat tiggal selama ‘iddah pasca thalaq ba’in yang menimpa dirinya.
Menurut Hasjim Abbas, penerapan metode mu’aradhah dengan sesame hadis (sunnah) seperti pengutipan hadis oleh Abu Hurairah bahwa Nabi Saw bersabda:
من ادركه الفجر جنبا فلا يصم
“Siapa memasuki waktu shubuh dalam keadaan junub (hadas besar) maka jangan berpuasa”. 
Ketika informasi itu terdngar oleh kedua Umm al-Mu’minin, A’isyah dan Ummu Salamah, terjadi reaksi penolakan karena keduanya menyaksikan betapa Nabi Saw berulangkali masih dalam kondisi janabah (hadats besar) hingga masuk waktu shubuh dimana paginya beliau bepuasa. Atas kesaksian kedua isteri nabi Saw itu Abu Hurairah mengakui kelabihan pengetahuan mereka dalam berterus terang mengungkap bahwa informasi itu tak ia terima langsung dari Nabi Saw melainkan diperoleh dari Fadhal bin Abbas.
Pada periode sahabat juga telah diterima mu’aradhah hadis dan mencocokkanya dengan penalaran akal sehat. Seperti teramati pada reaksi spontan A‘isyah, Abdullah bin Mas’ud dan Abullah bin Abbas ketika mereka mendengar Abu Hurairah menyitir hadis[28]:
من غسل الميّت فليغتسل ومن حملها فليتوضأ           
“Siapa telah selesai memandikan mayat, harap mandi (sesudahnya) dan siapa yang memikul keranda jenazah, harap ia berwudlu”. (HR. Abu Dawud)
Lebih lanjut diungkapkan Hasjim Abbas, polemik yang muncul kemudian bernada mempertanyakan: najisnya mayat-mayat orang islam? Beban hukum apakah yang berlaku bagi orang yang memikul kayu? Betapa kita memikul kayu dalam keadaan basahpun tidak wajib mandi. Obyek kayu dalam polemik itu dibuat padanan, karena keranda jenazah masa itu biasa terbikin dari bahan kayu. Pertanyaan A’isyah perihal najis tidaknya mayat manusia, bisa jadi merujuk pada pertanyaan Nabi Saw bahwa: “orang mukmin itu najis mayatnya” (HR. Baihaqi).
Melalui metode mu’aradhah terungkap bahwa pemberitaan itu bukan benar-benar hadis, melainkan fatwa atas pertimbangan istihsan yang formulasinya sebatas anjuran mandi pasca memandikan mayat.
  1. Masa tabi'in
Pada masa ini, terdapat tiga alasan utama para ahli hadis dalam melakukan dan menjaga otentitas (keaslian) hadis, di antaranya: Pertama, pengumpulan hadis yang dilakukan oleh al-Zuhri atas perintah Umar bin Abdul al-‘Aziz. Kedua, lahirnya ilmu kritik hadis dalam arti sesungguhnya. Kelanjutan dari proses “kematangan” kritik sanad. Ketiga, lahirnya semangat kuat untuk melakukan pelacakan hadis sebagaimana yang telah dilakukan oleh para generasi sebelumnya.
Pada periode pasca/setelah sahabat, mulai ditandai dengan penyebaran hadis yang semakin banyak dan meluas, dan banyak bermunculan matan-matan hadis palsu. Menanggapi keadaan seperti itu, bangkitlah para ulama untuk melakukan kritik atau seleksi guna menentukan hadis-hadis yang benar-benar berasal dari Nabi.
Integritas keagamaan pembawa berita hadits mulai diteliti sejak terjadi fitnah, yakni peristiwa terbunuhnya Usman bin Affan yang berlanjut dengan kejadian-kejadianlain sesudahnya. Fitnah tersebut melahirkan berbagai pertentangan yang tajam di antara umat Islam, sehingga keutuhan umat islam menjadi terpecah. Pemuka aliran sekterian itu memanfaatkan institusi hadits sebagai propaganda dan upaya membentuk umat dengan cara membuat hadits-hadits palsu.[29]
Fakta pemalsuan itu membangkitkan kesadaran Muhaditsin untuk melembagakan sanad sebagai alat kontrol periwayatan hadits sekaligus mencermati kecenderungan sikap keagamaan dan politik orang per-orang yang menjadi mata rantai riwayat itu. Dalam rangka mengimbangi pelembagaan sanad maka lahirlah kegiatan Jar wa-ta'dil. Kegiatan Jarh wa-ta'dil menurut pengamatan al-Dzahabi (w. 784 h) telah melibatkan 715 kritikus. Data itu cukup mengisyaratkan bahwa penalsuan hadits tak terbendung dan berlangsung dalam waktu yang lama (21 generasi) serta bertempat di banyak daerah.[30]
4.      Tradisi Muhadisin dan fuqaha dalam kritik matan
Secara garis besar ulama muhadisin telah mengembangkan metode kritik matan yang berintikan dua kerangka kegiatan dasar[31] :
  1. Mengkaji kebenaran dan keutuhan teks yang susunan redaksinya sebagaimana terkutib dalam komposisi kalimat matan hadis
  2. Mencermati keabsahan matan konsep ajaran islam yang disajikan secara verbal oleh periwayat dalam bentuk ungkapan matan hadis
Akumulasi langkah muhaddisin dalam kritik teks dokumentasi atas ungkapan redaksi matan hadis memanfaatkan metode muaradah. Versi lain menyebutkan metode muqaranah (perbandingan) atau metode muqabalah.
Metode mu'aradah (cross reference) adalah rujukan silang yang dilaksanakan dengan cara memperbandingkan antara redaksi matan hadis pada beberapa kitab koleksi hadis, atau intern sebuah kitab hadis.
Sedangkan tradisi fuqaha dalam kritik matan dan ushuliyyun terpusat pada upaya mendudukkan hadis (sunnah) pada jajaran dalil-dalil hukum syara dan terfokuskan ke sasaran aplikasi doktrinalnya.
Perbedaan Metodologi Antara Muhaddisin dan Fuqoha.[32]
1.  Muhaddisin amat ketat menyikapi gejala ‘illat hadis, bukan hanya ‘illat qadihah (merusak) citra matan, tetapi juga gejala ‘illat khafifah (ringan) juga dipandang menjadi sebab status ke-dha’if-an hadis. Misalnya, temuan data me-mursal-kan hadis yang kalangan perawi tsiqah (kepercayaan) dan dhabithmemusnadkannya. Temuan data tersebut tergolong ‘illat khafifah, tetapi bagi muhaddisin cukup memadai untuk men-dhaif-kannya. Fuqaha’ dan ushuliyyun bersikap pemisif dan mentolelir ‘illat tersebut.
2.  Muhaddisin sangat peduli dengan uji ketersambungan sanad (ittishad) dan seluruh periwayat dipersyaratkan harus jelas personalianya dan dikenal luas kepribadian maupun profesi kehadisannnya. Keterputusan sanad (mursal, munqathi’, mu’dhal), perawi yang anonim (majhul al-‘ain) atau minus pengakuan perihal keahlian hadisnya (mastur al-hal) merupakan tanda ke-dhaif-an yang sangat mendasar.Fuqaha’ dan ushuliyyun justru bersedia mangamalkan hadis mursal sekalipun versi teminologisnya berbeda dengan versi muhaddisin, melembagakan atsar (hadis mawquf), ‘amal al- shahabah (hukum kebiasaan yang hidup dan dihormati oleh generasi sahabat) dan sirah mereka. Bahkan disinyalir bahwa ‘amal ahl al-madinah lebih diunggulkan dari pada potensi kehujjahan sunnah nabawiyah di kalangan fuqaha’ madzhab Maliki. Fuqaha’ lebih interes pada uji kuantitas periwayat guna mengukur data tawatur-ahad-nya hadis dan qathi’iy-zhanniy-nya dalalah.
3.  Muhaddisin bersikap peka terhadap kecacatan kepribadian perawi dari segi integritas keagamaan seperti indikasi keterlibatan pada faham bid’ah. Demikian juga bila dicurigai memalsukan hadis, atau tidak cermat dalam membawakan hadis lantaran buruk ingatan dan ketahuan banyak salah pada penyajian teks matannya. Fuqaha’ dan ushulyun lebih tertarik menyoroti data konsistensi perilaku periwayat diperhadapkan dengan muatan doktrin hadis yang ia bertindak sebagai periwayatnya. Konsistensi periwayat oleh mereka dipandang sebagai cermin daya keberlakuan ajaran hadis yang ia riwayatkan.
4.  Data temuan tambahan informasi pada matan hadis hanya akan diperhitungkan manakala subyek yang bertanggung jawab atas data tambahan informasi itu periwayat yang menurut muhaddisin betul-betul tergolong tsiqah. Tambahan informasi pada matan itu dianalisis dampaknya pada hadis lain yang sama-sama bermutu sahih, yakni diterima bila tidak menafikan subtansi matan hadis lain yang sahih atau berfungsi menafsirkan. Data temuan tersebut dikenal dengan ziyadah tsiqah. Sikap fuqaha’ menurut pengamatan Khatib al-Baghdadi (w.436 h) sangat toleran dan lunak dalam merespon data ziyadahtersebut.
5.  Bertolah dari paradigama kebenaran al-Quran karena terjamin oleh sifat tawatur dan pengakuan umat atas dokumentasi mushafnya, maka kedudukan al-Quran sebagai dalil hukum syara’ adalah qathiy (pasti dan menyakinkan). Konsekuensinya setiap informasi hadis (sunah) harus mempertahankan rumusan konsep Al-Quran dan berhenti pada liminitas hukumnya. Karenanya, informasi matan hadis yang melampaui rumusan hukum atau liminitas al-Quran dikategorikan al-ziyadah ‘ala al-nashsh. Muhaddisin utamanya yang berafiliasi Malikiah, Syafi’iyah dan Hambaliah memandang informasi tambahan atas nash al-Quran lebih memantapkan keberadaan konsep hukum al-Quran dan mengakomodir hal lain yang berfungsi komplementer baginya. Fuqaha’ berafiliasi Hanafiah menganggap tambahan atas nash itu identik dengan nasakh. Perbedaan pola kritik tersebut memunculkan formula deduksi hukum yang berbeda sangat mencolok pada hadis bertema: zakat fitrah, menyapu khuf pengganti mencuci kedua kaki dalam berwudhu, istinja’ memanfaatkan batu, kafarah bersetubuh di siang hari bulan Ramadhan bagi yang terbebani kewajiban berpuasa, fasakh ihram haji menjadi ihram ‘umrah,, hukum qiradh, hukum salam, sanksi rajam pada pelaku zina yang berstatus muhshan dan lain-lain.
6.  Pengujian mutu kesahihan matan hadis dalam tradisi muhaddisin sebatas analisis leteral. Seakan mereka tidak ingin menggugat keabsahan subtansinya. Fuqaha’ justru lebih mementingkan kritik subtansi doktrin yang tersirat dibalik matan hadis Muhammad al–Ghazali mencontohkan 13 unit matan hadis dari berbagai kitab koleksi hadis yang bila dianalisis memanfaatkan pemikiran fiqih bila mengundang masalah. Antara lain: kutukan atas hobbi menyanyi, sorotan atas tata busana/kontruksi rumah/tehnik memotong kambing, sentuhan syaitan pada bayi lselain bayi Isa al-Masih, tanda-tanda alamiah perihal kiamat, rasio 2 : 1 pembagian rampasan perang bagi pasukan berkuda dan jalan kaki, dogma qadar dan sikap zuhud.
7.  Muhaddisin memperlukan supremasi hadis sebagai sumber memperoleh informasi hukum syari’ah sedemikian kebal terhadap intervensi dalil yang otoritas sumbernya bukan nash syar’i. Fuqaha’ danushuliyyun justru mensejajarkannya dengan qiyas, ‘amal keagamaan sahabat, perilaku keagamaan yang disepakati oleh generasi salaf khususnya pribumi Madinah, skala ‘umum al-balwa dan ijmak.
5.    Metode kritik matan, Analisis dan Implementasi kritik matan hadis dalam hukum keluarga
1.      Metode Kritik Matan
 Kritik matan telah terjadi semenjak zaman sahabat dan terus berlanjut hingga sekarang.  Metode yang digunakan untuk kritik matan mempunyai bentuk yang sama sejak awal pertumbuhan yaitu metode: Perbandingan atau cross question dan cross refrence (metode pertanyaan dan rujuk silang), metode tersebut dengan mengumpulkan semua bahan yang berkaitan dan membandingkan secara cermat satu demi satu, kemudian menentukan keakuratan masing-masing.[33]
Dari metode kritik matan dengan cara perbandingan (muqaranah) dan penyesuaian/penyocokan (mu'aradah) maka bisa dilakukan dengan beberapa metode:
a.    Metode membandingkan dengan cara[34] ;
1.      Membandingkan antara hadis hadis dari berbagai murid seorang guru
2.      Perbandingan antara pernyataan pernyataan dari seorang ulama yang dikeluarkan pada waktu yang berlainan
3.      Perbandingan antara pembacaan lisan dengan dokumen tertulis
4.      Perbandingan antara hadis dengan ayat al qur'an yang berkaitan.
Metode lain yaitu[35] :
1.    Perbandingan antara hadis dengan al qur'an
Pertanyaan yang muncul dari metode ini adalah apakah mungkin terjadi pertentangan hadis dengan al qur'an sehingga diperlukan adanya perbandingan ?

Beberapa pendapat ulama :
a.       Abu hanifah
Tidak mungkin membandingkan hadis dengan al qur'an. Apabila ada perbuatan atau perkataan nabi yang bertentangan dengan al qur'an maka alloh pasti akan menegurnya dan tidak akan pernah terjadi perbedaan atau pertentangan antara hadis dengan al qur'an. Sekalipun ada pertentangan antara hadis dengan al qur'an tidak dapat dituduhkan kepada nabi sebagai orang yang membuat pertentangan tersebut, tetapi harus dikembalikan kepada orang yang meriwayatkan hadis tersebut kemungkinan ada kesalahan atau kelalaian.
b.      Imam malik
 menolak hadis yang bertentangan dengan al – qur'an
c.       Imam syafi'i
Orang yang mengatakan apabila hadis bertentangan dengan al qur'an maka harus diabaikan dan alqur'an yang diamalkan, apabila hadis tersebut sesuai dengan dengan al qur'an maka hadis tersebut bisa diamalkan.
Surah al Hasyr ayat 7 :
 !$tBur ãNä39s?#uä ãAqߧ9$# çnräãsù $tBur öNä39pktX çm÷Ytã (#qßgtFR$$sù 4 ÇÐÈ[36]  
"apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah".
            Hadis yang boleh dibandingkan adalah hadis yang sudah dipastikan kesahihannya, baik dari segi sanad maupun matan.Oleh karena itu tidak mungkin hadis bertentangan dengan al qur'an.


2.    Perbandingan antara beberapa riwayat (jalur sanad) dalam satu tema
Metode ini digunakan dengan cara mengumpulkan beberapa dalam satu tema dengan berbagai jalur periwayatan (sanad). Dengan metode ini kemungkinan akan ditemukan adanya penyusupan .
Hadis yang pantas diperbandingkan adalah hadis yang sederajat tingkat kualitas sanadnya. Sedangkan perbedaan lafaz yang tidak mengakibatkan perbedaan makna, dapat ditoleransi asalkan sanadnya sama-sama shahih.[37]
3.    Perbandingan antara satu hadis dengan hadis yang lain yang terkesan kontradiktif
Sebagaimana di kutip ahmad fudhaili, al khatib al bagdady menyatakan "setiap dua hadis dan dipastikan keduanya bersumber dari nabi maka tidak termasuk dalam kategori saling bertentangan (ta'arrud) sekalipun pada kenyataannya terlihat saling bertentangan.karena yang dimaksud dengan bertentangan antra dua hadis adalah salah satu dari dua hadis tersebut saling menegaskan dan didalamnya terkandung antara perintah dan larangan. Salah satu diantara kedua hadis tersebut ada yang benar dan yabg lainnya bohong.
4.    Perbandingan antara matn (materi) hadis dengan fakta sejarah.[38]
Salah satu langkah yang ditempuh muhaddisin untuk melakukan penelitian matan hadis adalah mengetahui peristiwa yang melatar belakangi munculnya suatu hadis (asbabul wurud). Sebenarnya asbabul wurud hadis tidak ada pengaruhnya secara langsung dengan kualitas suatu hadis. Namun yang tepat adalah mengetahui asbabul wurud mempermudah memahami kandungan hadis.[39]
5.    Meneliti matn hadis yang terdapat kerancuan bahasa dan pengertian yang jauh menyimpang
Penelitian matan hadis dengan pendekatan bahasa sangat perlu karena bahasa Arab yang digunakan oleh nabi dalam menyampaikan  berbagai hadis selalu dalam susunan yang baik dan benar. Penggunaan pendekatan bahasa dalam penelitian matan akan sangat membantu terhadap kegiatan penelitian yang berhubungan dengan kandungan petunjuk dan matan hadis yang bersangkutan.[40]
6.    Meneliti hadis yang bertentangan dengan kaidah-kaidah syariat dan kaidah-kaidah lain yang telah ditetapkan.
7.    Menghimpun hadis-hadis yang terjalin dalam tema yang sama
Hadis yang pantas diperbandingkan adalah hadis yang sederajat tingkat kualitas sanadnya. Perbedaan lafaz pada matan hadis yang semakna ialah karena dalam periwayatan hadis telah terjadi periwayatan secara makna. Menurut muhaddisin perbedaan lafaz yang tidak mengakibatkan perbedaan makna, dapat ditoleransi asalkan sanadnya sama-sama shahih. [41]
Dari pemaparan diatas, kita dapat melakukan kritik hadis dengan cara lafzi dan maknawi. Gunanya untuk mendapatkan kesahihan hadis. Dari pemaparan diatas juga, penulis menyimpulkan bahwa dalam meneliti matan hadis dinilai shahih atau tidaknya sebuah hadis harus melalui berbagai metode dan pendekatan. Berbagai metode dan pendekatan dilakukan seperti pendekatan bahasa, sejarah, makna matan yang satu dengan yang lainnya dan lain-lain.
Perlu kita pahami juga bahwa untuk mendapat kualitan matan hadis yang sahih yaitu terhindar dari syadz (janggal) dan illat (cacat).
Sebagaimana dalam buku  Sholahuddin bin Ahmad al-adlabi yang diterjemahkan oleh Ita Qonita, memberikan dua syarat[42] :
1.      Hadits tersebut terlepas dari syadz, dengan arti bahwa hadits tersebut mencakupi syarat hadits shohih.
Syadz pada matan didefinisikan dengan adanya pertentangan atau ketidak sejalanan riwayat seorang perawi yang satu dengan seorang perawi yang lain dan lebih kuat hafalan/ ingatannya.
2.      Hadits tersebut terbebas dari illat
Illat pada matan hadits didefinisikan sebagai suatu sebab tersembunyi yang terdapat pada matan hadits yang secara lahir tampak berkualitas shahih. Sebab tersembunyi di sini dimaksudkan bisa berupa masuknya redaksi hadits lain pada hadits tertentu.
Menurut Al-Khatib Al-Bagdadi (w. 463 H)[43]. sebagaimana dikutip oleh Syuhudi Ismail bahwa suatu matan hadis dapat dinyatakan maqbul (diterima) sebagai matan hadis yang shahih apabila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:[44]
1. Tidak bertentangan dengan akal sehat
2.Tidak bertentangan dengan hukum al-Qur’an yang telah muhkam (ketentuan hukum yang telah tetap)
3.Tidak bertentangan dengan hadis mutawatir
4.Tidak bertentangan dengan amalan yang telah menjadi kesepakatan ulama masa lalu (ulama salaf)
5.Tidak bertentangan dengan dalil yang telah pasti
6.Tidak bertentangan dengan hadis ahad yang kualitas keshahihannya lebih kuat.
Sedangkan tolak ukur atau kaidah kesahihan matan tersebut (ma’ayir naqd al-matan) menurut Shalah al-Din al-Adlabi sebagaimana dikutip oleh Syuhudi Ismail ada empat macam, yaitu[45]:
1.Tidak bertentangan dengan petunjuk al-Qur’an
2.Tidak bertentangan dengan hadis yang kualitasnya lebih tinggi
3.Tidak bertentangan dengan akal sehat, indra dan sejarah
4.Susunan pernyataan menunjukkan ciri-ciri sabda kenabian. yaitu: tidak rancu,  sesuai dengan kaidah bahasa Arab, fasih.
Ada prinsip kritik matan yang popular yaitu : apabila engkau menemui sebuah hadis yang bertentangan dengan akal, atau yang sudah disepakati sebagai riwayat autentik, atau bertentangan dengan prinsip-prinsip yang sudah mapan diterima, maka engkau harus mengetahui bahwa hadis tersebut adalah palsu[46].
Kalau disimpulan, defenisi kesahihan matan hadis menurut mereka adalah: sanadnya sahih (penentuan kesahihah sanad hadis didahului dengan kegiatan takhrij hadis dan dilanjutkan dengan kegiatan penelitian sanad hadis), kedua, tidak bertentangan dengan hadis mutawatir atau hadis ahad yang sahih, ketiga, tidak bertentangan dengan petunjuk alqur’an, keempat, sejalan dengan alur akal sehat, kelima, tidak bertentangan dengan sejarah, dan keenam, susunan pernyataan menunjukkan ciri-ciri kenabian.
2.      Analisis dan Implementasi kritik matan hadis dalam hukum keluarga
Dalam menganalisis kritik matan hadis dalam hukum keluarga, penulis mencari hadis bukhari dan juga muslim tentang larangan nikah mut'ah. Dalam menganalisis matan hadis ini, penulis menggunakan metode Al-Khatib Al-Bagdadi dan Shalah al-Din al-Adlabi untuk menentukan keshahihan hadis yang sudah penulis paparkan diatas. Diantara metode Al-Khatib Al-Bagdadi dan Shalah al-Din al-Adlabi yang ditawarkan untuk menetukan kesahihan matan hadis, diantara keduanya mempunyai metode yang sama, tetapi Al-Khatib Al-Bagdadi lebih banyak dalam memberikan metodenya.
 Disisi lain, metode yang ditawarkan oleh keduanya saling melengkapi antara satu dengan yang lainnya. Di dalam metode yang ditawarkan oleh Al-Khatib Al-Bagdadi tidak ada di dalam metode Shalah al-Din al-Adlabi begitu juga sebaliknya. Oleh karena itu, penulis ingin mengkomparasikan dua metode dari dua ulama tersebut dalam menganalisis contoh matan hadis tentang larangan nikah mut'ah.  Hadis Pertama tentang larangan nikah mut'ah terdapat dalam kitab Hadis bukhari :
عَنْ عَلِيٍّ رض اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص: نَهَى عَنْ مُتْعَةِ النِّسَاءِ يَوْمَ خَيْبَرَ وَ عَنْ لُحُوْمِ اْلحُمُرِ اْلاِنْسِيَّةِ.[47] رواه البخارى
"Ali Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang nikah mut'ah pada waktu perang khaibar dan melarang untuk makan daging keledai jinak". Riwayat Bukhari
Hadis kedua, terdapat dalam kitab Muslim, yaitu:
حدثنا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ، حدثنا أَبِي، حدثنا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ عُمَرَ، حَدَّثَنِي الرَّبِيعُ بْنُ سَبْرَةَ الْجُهَنِيُّ: أَنَّ أَبَاهُ، حَدَّثَهُ: أَنَّهُ كَانَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فقَالَ: " يَا أَيُّهَا النَّاسُ، إِنِّي قَدْ كُنْتُ أَذِنْتُ لَكُمْ فِي الِاسْتِمْتَاعِ مِنَ النِّسَاءِ، وَإِنَّ اللَّهَ قَدْ حَرَّمَ ذَلِكَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، فَمَنْ كَانَ عَنْدَهُ مِنْهُنَّ شَيْءٌ فَلْيُخَلِّ سَبِيلَه، وَلَا تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا".[48]
"Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdillah bin Numair : Telah menceritakan kepada kami ayahku : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-‘Aziiz bin ‘Umar : Telah menceritakan kepadaku Ar-Rabii’ bin Sabrah Al-Juhaniy : Bahwasannya ayahnya telah menceritakannya : Bahwasannya ia pernah bersama Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda : “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku pernah mengijinkan kalian nikah mut’ah. Dan sesungguhnya Allah telah mengharamkannya hingga hari kiamat. Barangsiapa yang masih mempunyai ikatan mut’ah maka segera lepaskanlah, dan janganlah kalian ambil sesuatupun yang telah kalian berikan kepada wanita yang kalian mut’ahi itu” Diriwayatkan oleh Muslim" .
عن عبد الملك بن ربيع بن سبرة الجهني عن ابيه جده قال: أَمَرَنَا رَسُولُ اللهِ, بِالْمُتْعَةِ عَامَ الْفَتْحِ حِينَ  دَخَلْنَا مَكَّةَ، ثُمَّ لَمْ نَخْرُجْ مِنْهَا حَتَّى نَهَانَا عَنْهَا[49]
“Dari Abdul Malik bin Rabi bin Sabrah al-Juhani, dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengizinkan kami untuk melakukan mut’ah ketika kami memasuki kota Makkah. Kemudian, tidaklah kami keluar meninggalkan kota Makkah kecuali dalam keadaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengharamkannya untuk kami.” HR. Muslim
Berdasarkan penelusuran matan melalui kitab hadis, sebenarnya banyak kitab yang meriwayatkan hadis tentang larangan nikah mut'ah, seperti riwayat Abu Dawud, Nasa'i, Ibnu Majah, Ahmad, Ad-Daarimiy, tetapi penulis hanya memasukkan dua hadis dengan lafaz yang berbeda, yaitu dari riwayat Bukhari dan Muslim.
Dari data-data yang penulis dapat, bahwa penulis menggunakan model pendekatan kualitas sanad dalam mencontohkan dua hadis diatas (hadis bukhari dan muslim). Karena kualitas sanad sangat menentukan kualitas matan hadis. Penulis menyimpulkan bahwa sanad di atas shahih.
Setelah menentukan kesahihan sanad hadits, kemudian menentukan tingkat keshahihan matan melalui metodologi kritik matan sebagaiman penulis paparkan diatas pada bab dua tentang keshahihan matan hadis menurut Al-Khatib Al-Bagdadi dan Shalah al-Din al-Adlabi.
Berdasarkan kriteria keshahihan matan di atas. Dapat dipahami bahwa matan hadis tentang larangan nikah mut'ah adalah shahih dengan pertimbangan sebagai berikut:
Sesuai dengan metode Al-Khatib Al-Bagdadi dan Shalah al-Din al-Adlabi dalam menentukan kesahihan matan hadis, penulis menganalisis hadits larangan nikah mut'ah dengan menggunakan pendekatan metode Al-Khatib Al-Bagdadi bahwa :
Dilihat dari aspek temanya bahwa dua hadis tentang larangan “nikah mut'ah” memiliki tema yang sama yaitu tentang “pelarangan nikah mut'ah” hadis tentang larangan nikah mut'ah ini tidak bertentangan dengan akal sehat.
Hadis larangan nikah mut'ah ini memang tidak ada dalam al-Qur'an. Tetapi, sebagaimana fungsi hadits untuk mengisi kekosongan hukum jika tidak ada dalam al Qur'n atau sebagai pembuat hukum bagi ketentuan hukum yang tidak ada dalam al Qur'an. Dilihat dari aspek perbandingan hadis bahwa tidak terdapat pertentangan makna hukum antara hadis yang diriwayat oleh imam Bukhari dengan imam Muslim. Tetapi sebaliknya, saling melengkapi dan mendukung, walaupun terdapat penambahan kata dan berbeda lafadznya.
Dua hadits imam Bukhari dan imam Muslim tentang larangan nikah mut'ah tidak bertentangan dengan hadis mutawatir. Karena dua imam periwayatan hadis ini sudah menempati urutan hadis paling shahih. Jadi tidak ada hadis yang lebih tinggi derajat periwayatannya selain kedua hadis ini.
Karena tidak ada dalam al Qur'an tentang larangan nikah mut'ah, maka kedua hadis tentang larangan nikah mut'ah tidak bertentangan dengan dalil yang telah pasti.
Sedangkan dalam menentukan kesahihan matan hadis yang kedua, penulis menganalisis hadits larangan nikah mut'ah  yaitu dengan menggunakan pendekatan metode Shalah al-Din al-Adlabi sebagai tambahan yang tidak ada dalam metodenya Al-Khatib Al-Bagdadi.
Adapun menurut Shalah al-Din al-Adlabi, kriteria matan hadits itu shahih apabila tidak bertentangan dengan hadis yang kualitasnya lebih tinggi, tidak bertentangan dengan akal sehat, indra dan sejarah. Hadits yang diriwayatkan oleh imam Bukhari dan Muslim tentang larangan nikah mut'ah Dilihat aspek sejarah menunjukkan bahwa matan ini tidak bertentangan dengan fakta sejarah. sudah menjadi pemahaman umum bagi umat Islam sedunia bahwa perjuangan Nabi Saw semasa hidup, selalu memperjuangkan nilai kebenaran dan keadilan bagi umat manusia.
Sedangkan susunan pernyataan menunjukkan ciri-ciri sabda kenabian. yaitu: tidak rancu,  sesuai dengan kaidah bahasa Arab, fasih. Dilihat dari struktur bahasa, Hadits yang diriwayatkan oleh imam Bukhari dan Muslim tentang larangan nikah mut'ah menunjukkan bahwa matan ini memiliki struktur bahasa sesuai dengan kaidah bahasa Arab yang sudah lazim berlaku. Sedangkan, esensi pesan matan mampu mengambarkan sikap dan ketauladan Nabi Saw, berupa ketegasan Nabi Saw dalam menjawab persoalan yang terjadi pada masanya.
Berdasarkan perbandingan matan dan dua metode yang digunakan dalam menganalisi kesahihan matan  di atas,  menunjukkan bahwa kedua hadis tidak mengalami: syadz (kejanggalan) maupun illat (cacat), dari segi maknanya. Kandungan makna tidak bertentangan antara satu dengan yang lainnya. Adapun, perbedaan kedua  matan di atas masih dapat ditoleransi sebab hanya sebatas redaksi bahasa atau perbedaan lafadz yang tidak merusak makna teks, struktur bahasa, dalil lain yang lebih kuat derajatnya, logika dan fakta sejarah.
Setelah menganalisi hadis diatas maka penulis menyimpulkan hasil penelitian matan. Karena penyimpulan matan hadis ada dua cara yaitu shahih dan dhaif, maka penulis menyimpulkan dengan dua cara tersebut. Penulis menyimpulkan bahwa hadis tentang pelarangan nikah mut'ah diatas adalah shahih matannya.
Kritik kedua matan hadits diatas, penulis menggunakan kritik baik dari segi kritik lafaz dan juga kritik ma'na hadits.
Permasalahan atau problematika yang penulis alami selama penelitian studi kritik matan hadis adalah kurang adanya metode yang akurat dalam penelitian ini. Berbeda dengan penelitian sanad, para ulama sudah menentukan metode dalam penelitian sanad hadis.

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan

Penulis simpulkan bahwa kritik matan hadis merupakan bagian yang sangat penting untuk dibahas dan didiskusikan dalam pembelajaran study hadits. Pembelajaran matan hadis ini tidak kalah pentingnya dengan pembahasan sanad hadits dalam menentukan kesahihan sebuah hadis. Antara sanad dan matan hadits adalah satu kesatuan dalam menentukan suatu hadits itu makbul (diterima). Dalam proses studi kritik matan hadis, secara praktis, kritik ini memang telah ada sejak para sahabat Nabi, sahabat, kemudian tabi'in. Upaya perumusan metode kritik matan hadis menjadi sangat penting selain karena secara nyata telah tertinggal  oleh metode kritik sanad, matan-matan hadis telah terkodifikasikan, juga belum terumuskannya kaidah-kaidah atau metode kritik matan.  Oleh karena itu, tulisan ini merupakan bagian dari usaha untuk mengembangkan studi kritik matan hadis dari aspek motodenya.
Istilah kritik matan hadits, di pahami sebagai upaya pengujian atas keabsahan matan hadits, yang di lakukan untuk memisahkan antara matan-matan hadits yang sahih dan yang tidak sahih. Dengan demikian, kritik matan tersebut, bukan di maksud untuk mengoreksi kelemahan sabda Rasulullah, akan tetapi di arahkan kepada redaksi dan makna guna menetapkan keabsahan suatu hadits. Karena itu kritik matan merupakan upaya positif dalam rangka menjaga kemurnian matan hadits, di samping juga untuk mengantarkan kepada pemahaman yang lebih tepat terhadap hadits Rasulullah. baik secara  lafaz maupun ma’nawi.
B.     Saran
Bagi masyarakat dan juga akademisi, lebih khusus lagi para pembaca untuk bias mengembangkan lebih dalam lagi masalah studi kritik matan hadis. Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari aspek penulisan maupun isi makalah ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran, kritik, maupun masukan demi kebaikan makalah ini.
Daftar Pustaka

Amin, Kamaruddin. Menguji kembali keakuratan  Metode Kritik Hadis (Jakarta Selatan:PT Mizan  Publika, 2009).
Abbas, Hasjim. Kritik Matan Hadis (Yogyakarta : Teras, 2004).
Ahmad al Adlabi, Shalahuddin. Menalar Sabda Nabi Menerapkan Metode Kritik Matan Dalam Studi Hadis, diterjemahkan oleh Ita Qonita (Yogyakarta : Insan Madani, 2010).
Azami, Muhammad Mustafa, studies in hadits methodology and literature, diterjemahkan oleh A.Yamin, Metodologi Kritik Hadits (Jakarta:Pustaka Hidayah, 1992).
Ahmad, Muhammad dan M.Mudzakir Ulumul Hadis ( Bandung:Pustaka Setia, 1998).
Amin, Kamaruddin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis (Jakarta:Mizan Publika,2009).
 Bustami dan M.Isa H.A.Salam. Metodologi Kritik Hadis (Jakarta :PT Raja Grafindo Persada, 2004)
Fu'ad Abdul Baqi. Muhammad, Kumpulan Hadis Shahih Bukhari Muslim dengan judul asli Al-lu'lu Wal Marjan Fima Ittafaqa Alaihi Asy-Syaikhani Al-Bukhari Wa Muslim (solo : Insan Kamil,2010).
Fu'ad Abdul Baqi, Muhammad. Shahih Muslim jilid 2dengan judul asli SHAHIH MUSLIM Li al Imam Abu al Husain Muslim bin al Hajjaj al Qusyairi an Naisaburi (Jakarta : Pustaka As Sunnah,2010).
Fudhaili, Ahmad. Perempuan di Lembah Suci Kritik Atas Hadis-hadis Shahih (Yogyakarta:Pilar Religia, 2005).
Nuruddin 'itr, Ulumul Hadis (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2012).
Sumbulah, Umi. Kritik hadis pendekatan historis metodologis (Malang: UIN-Malang Press, 2008).
Sumbulah, Umi, Akhmad Kholil, dan Nasrullah, Studi Al Qur'an dan Hadis (Malang : UIN Malang Press, 2014).
Ismail, M.Syuhudi. Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta:Bulan Bintang, 2007).
Khumaidi, Irham, Ilmu Hadis Untuk Pemula (Jakarta: Artha Rivera, 2008).
Wahid, Abd. Metode Penelitian dan Pemahaman Hadis Musykil, Jurnal Substantia Vol.15, No. 2, Oktober 2013 Fakultas Ushuluddin UIN Ar-Raniry.
Warson, Munawwir, Ahmad. Kamus Arab-Indonesia (Yogyakarta:Pondok Pesantren Al-Munawwir,1984).
Warson, Munawwir, Ahmad. Kamus Arab-Indonesia (Yogyakarta:Pondok Pesantren Al-Munawwir,1984).
ساجد الرحمن الصديقي، نشأة علوم الحديث وتطورها. القاهرة : مكتبة الاداب، 2004 م.
صلاح الدين بن احمد الادلبي، منهج نقد المتن عند علماء الحديث انبوي . بيروت: دار الافاق الجديدة،  1983.
ابو بكر احمد بن على الخطيب البغدادى، تارح بغداد (لبنان: دار الكتب العلمية، 2004).



[1]Kamaruddin  Amin, Menguji kembali keakuratan  Metode Kritik Hadis (Jakarta Selatan:PT Mizan  Publika, 2009), hal.56.
[2]Abd. Wahid, Metode Penelitian dan Pemahaman Hadis Musykil, Jurnal Substantia Vol.15, No. 2, Oktober 2013 Fakultas Ushuluddin UIN Ar-Raniry. Hal.194.
[3]Ahmad Warson Munawwir, Kamus Arab-Indonesia (Yogyakarta:Pondok Pesantren Al-Munawwir,1984)
[4]Hasjim Abbas, Kritik Matan Hadis (Yogyakarta : Teras, 2004), hal. 9.
[5]Hasjim Abbas, Kritik Matan Hadis, hal.9.
[6]Hasjim Abbas, Kritik Matan Hadis, hal.10.
[7]Ahmad Warson Munawwir, Kamus Arab-Indonesia (Yogyakarta:Pondok Pesantren Al-Munawwir,1984)
[8]صلاح الدين بن احمد الادلبي، منهج نقد المتن عند علماء الحديث انبوي (بيروت: دار الافاق الجديدة، 1983 )، صفحة.30.
[9]Nuruddin 'itr, Ulumul Hadis (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2012), hal. 333.
[10]Ahmad Fudhaili, Perempuan di Lembah Suci Kritik Atas Hadis-hadis Shahih (Yogyakarta:Pilar Religia, 2005),hal.43.
[11]Umi Sumbulah, Kritik hadis pendekatan historis metodologis (Malang: UIN-Malang Press, 2008), hal.93.
[12]Umi Sumbulah, Kritik hadis pendekatan historis metodologis, hal.93.
[13]Ahmad Warson Munawwir, Kamus Arab-Indonesia (Yogyakarta:Pondok Pesantren Al-Munawwir,1984)
[14] ساجد الرحمن الصديقي، نشأة علوم الحديث وتطورها (القاهرة : مكتبة الاداب، 2004 م)، صفحة. 20.
[15]Umi Sumbulah, Akhmad Kholil, dan Nasrullah, Studi Al Qur'an dan Hadis (Malang : UIN Malang Press, 2014), hal.15.
[16]Umi Sumbulah, Akhmad Kholil, dan Nasrullah, Studi Al Qur'an dan Hadis,hal.16.
[17]Irham Khumaidi, Ilmu Hadis Untuk Pemula (Jakarta: Artha Rivera, 2008),hal.14.
[18]Muhammad Ahmad dan M.Mudzakir, Ulumul Hadis ( Bandung:Pustaka Setia, 1998), hal.20.
[19]Hasjim Abbas, Kritik Matan Hadis (Yogyakarta : Teras, 2004), hal.24.
[20]Hasjim Abbas, Kritik Matan Hadis, hal.24.
[21]Bustami dan M.Isa H.A.Salam, Metodologi Kritik Hadis (Jakarta :PT Raja Grafindo Persada, 2004),hal.60.
[22]Hasjim Abbas, Kritik Matan Hadis, hal.28.
[23]Hasjim Abbas, Kritik Matan Hadis, hal.28.

[24]Hasjim Abbas, Kritik Matan Hadis, hal.30.
[25]Hasjim Abbas, Kritik Matan Hadis, hal.30. 
[26]Hasjim Abbas, Kritik Matan Hadis, hal.31.
[27]Muhammad Fu'ad Abdul Baqi, Kumpulan Hadis Shahih Bukhari Muslim dengan judul asli Al-lu'lu Wal Marjan Fima Ittafaqa Alaihi Asy-Syaikhani Al-Bukhari Wa Muslim (solo : Insan Kamil,2010), hadis ke 946, hal. 424.
[28] Hasjim Abbas, Kritik Matan Hadis, hal.32.
[29]Hasjim Abbas, Kritik Matan Hadis, hal.34.
[30]Hasjim Abbas, Kritik Matan Hadis, hal.35.
[31]Hasjim Abbas, Kritik Matan Hadis, hal.85.
[32]Hasjim Abbas, Kritik Matan Hadis, hal.127.
[33]Ahmad Fudhaili, Perempuan di Lembah Suci Kritik Atas Hadis-hadis Shahih,hal.64.
[34]Muhammad Mustafa Azami, studies in hadits methodology and literature, diterjemahkan oleh A.Yamin, Metodologi Kritik Hadits (Jakarta:Pustaka Hidayah, 1992),hal. 87.
[35]Ahmad Fudhaili, Perempuan di Lembah Suci Kritik Atas Hadis-hadis Shahih,hal.64.
[36]QS. A-Hasyr (59):7.
[37]Bustami dan M.Isa H.A.Salam, Metodologi Kritik Hadis, hal.65.
[38]Ahmad Fudhaili, Perempuan di Lembah Suci Kritik Atas Hadis-hadis Shahih,hal.68.
[39]Bustami dan M.Isa H.A.Salam, Metodologi Kritik Hadis,hal.85.
[40]M.Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta:Bulan Bintang, 2007),hal.25.
[41]Bustami dan M.Isa H.A.Salam, Metodologi Kritik Hadis, hal.65.
[42]Shalahuddin bin Ahmad al Adlabi, Menalar Sabda Nabi Menerapkan Metode Kritik Matan Dalam Studi Hadis, diterjemahkan oleh Ita Qonita (Yogyakarta:Insan Madani, 2010), hal.23.
[43]هو ابو بكر احمد بن على بن ثابت بن احمد بن مهدىي، ذكر ابن النجار – فيما نقله ابن قاضى شهبه – انه ولد في غزية من اعمال الحجاز، وذكر الصفدى انه ولد في قرية من اعمال نهر الملك بهنيقه، ولد يوم الخميس  لست بقين من جمادى الاخرة سنة 392 ه، ونشأفي درزيجان، وهى قرية كبيرة جنوب غربى بغداد  وقد مرض الخطيب في رمضان سنة 463، توفى الخطيب البغدادى. (ابو بكر احمد بن على الخطيب البغدادى، تارح بغداد (لبنان: دار الكتب العلمية، 2004)،صفحة:21 و4.
[44]M.Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi,hal.118.
[45]M.Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi,hal.120.
[46]Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis (Jakarta:Mizan Publika,2009),hal. 58.
[47]Muhammad Fu'ad Abdul Baqi, Kumpulan Hadis Shahih Bukhari Muslim dengan judul asli Al-lu'lu Wal Marjan Fima Ittafaqa Alaihi Asy-Syaikhani Al-Bukhari Wa Muslim, hadis ke 889, hal. 391.
[48]Muhammad Fu'ad Abdul Baqi, Shahih Muslim jilid 2dengan judul asli SHAHIH MUSLIM Li al Imam Abu al Husain Muslim bin al Hajjaj al Qusyairi an Naisaburi (Jakarta : Pustaka As Sunnah,2010),hadis ke 22, hal. 712.
[49]Muhammad Fu'ad Abdul Baqi, Shahih Muslim jilid 2dengan judul asli SHAHIH MUSLIM Li al Imam Abu al Husain Muslim bin al Hajjaj al Qusyairi an Naisaburi,hadis ke 22, hal. 713.

0 komentar:

Posting Komentar