METODE
KRITIK MATAN, MODEL, IMPLEMENTASI DAN PROBLEMATIKANYA
Oleh
:
Yasin
Yusuf Abdillah
BAB
I
PENDAHULUAN
- Latar
Belakang
Hadis
kerupakan sumber hukum islam yang kedua setelah al-qur'an. Aq-qur'an tidak lagi
diragukan kesahihan ayat-ayatnya karena al qur'an diwahyukan langsung oleh
Alloh SWT. Sedangkan hadis, tidak semua hadis bisa dijadikan hujjah atau
patokan dalam hukum islam, ada hadis yang shahih dan bisa digunakan da nada
hadis yang mardud dan tidak bisa dipakai. Oleh karena itulah perlu adanya
penelitian hadis terutama penelitian dalam matan hadis.
Terdapat
sejumlah matan yang tidak dapat disandarkan kepada nabi, meskipun sanadnya
tampak tsiqah. Dengan kata lain sanad yang tsiqah tidak harus berarti matannya
juga terpercaya.[1]
Ulama
hadis berpendapat kritik matan harus didahului oleh kritik sanad. Dengan kata
lain, sebuah hadis yang sudah dinyatakan lemah dari segi sanadnya, maka upaya
terhadap kritik matan tidak lagi menjadi kewajiban, karena hadis tersebut sudah
dianggap tidak memenuhi syarat dijadikan hujjah.[2]
Tetapi
pada kenyataannya, matan hadis yang sampai kepada kita sekarang ini adalah
sangat berkaitan dengan sanad hadis, sanad itu sendiri masih diperlukan
penelitian yang sangat cermat. Oleh karena itu, kritik matan juga harus
dilakukan dengan cermat juga. Tujuannya adalah, supaya hadis yang sampai ke
tangan kita benar-benar sahih, dan amanah hadis yang disampaikan kepada kita
tidak sia-sia dan kita tidak keliru dalam menjalankannya.
Penelitian
matan hadis ini bertujuan untuk menghindari kemunkinan-kemungkinan ada
penambahan atau kejanggalan dan cacat dalam hadis didalam rawi yang tsiqah.
Adapun untuk metode penelitian matan hadis akan penulis sampaikan di pembahasan
berikutnya.
Dari
beberapa pernyatan-pernyataan diatas, kritik matan hadis sangat penting
dilakukan karena menyangkut masalah kedudukan hadis itu sendiri sebagai sumber
hukum kedua setelah al qur'an. Kritik matan untuk mencari kebenaran isi hadis,
bukan untuk meragukan hadis apa benar berasal dari nabi atau tidak.
- Rumusan
Masalah
1.
Apa
pengertian kritik matan hadis ?
2.
Bagaimana
latar belakan sejarah kritik matan hadis ?
3.
Bagaimana
metodologi kritik matan hadis ?
4.
Bagaimana
Implementasi kritik matan hadis dalam hukum keluarga ?
- Tujuan dan
Manfaat Pembahasan
1.
Untuk
mengetahui dan memahami pengertian kritik matan hadis
2.
Untuk
mengetahui dan memahami latar belakang, perkembangan dan sejarah kritik matan
hadis
3.
Untuk
mengetahui dan memahami metodologi kritik matan hadis
4.
Untuk
mengetahui dan memahami Implementasi kritik matan hadis dalam huku keluarga
- Batasan
Masalah
Karena pembahasan mengenai studi kritik hadis sangat luas, yaitu
terdiri dari sanat, matan, dan juga rawi hadis, maka penulis membatasi
pembahasan masalah ini hanya dalam ruang lingkup matan hadis. Penulis akan
memaparkan pengertian, sejarah, metode, dan implementasi kritik matan hadis
dalam hukum keluarga.
BAB
II
PEMBAHASAN
- Pengertian
kritik Matan Hadis
1.
Pengertian
naqd ((النقد
Secara
etimologi, kata نقد- ينقد نقدberarti meneliti dengan seksama. Sedangkan naqd ( (النقدdalam bahasa arab berarti kritik[3]. Kritik
itu sendiri berarti menghakimi, membanding, menimbang.[4] Naqd
dalam bahasa arab popular berarti penelitian, analisis, pengecekan, dan
pembedaan. Selanjutnya dalam pembicaraan umum orang Indonesia, kata kritik
berkonotasi pengertian bersifat tidak lekas percaya, tajam dalam penganalisaan,
dan uraian pertimbangan baik buruk terhadap suatu karya.[5]
Sedangkan
kritik hadis menurut terminology ada beberapa defendisi. Menurut Ibnu Abi Hatim
al Razi (w.327 ) sebagaimana dikutip oleh M. Mustafa al-A'zami dan dikutip lagi
oleh Hasjim Abbas adalah :
على الرواة توثيقا و تجريحا تمييز الاحاديث
الصحيحة من الضعيفة والحكم
"Upaya menyeleksi
(membedakan ) antara hadis shahih dan dhaif dan menetapkan status
perawi-perawinya dari segi kepercayaan atau cacat".[6]
Menurut
Muhammad Thahir al-Jawaby
"Ilmu
kritik hadis adalah ketentuan terhadap para perawi hadis baik kecacatan ataupun
keadilannya dengan menggunakan lapaz lapaz tertentu yang dikenal oleh
ulama-ulama hadis. Kemudian meneliti matan-matan hadis yang telah dinyatakan
shahih (sanadnya) untuk menentukan keshahihan atau ke dhaifan matan hadis
tesebut, mengatasi kesulitan (pemahaman) dari hadis yang telah dinyatakan
shahih, mengatasi kontradiksi (pemahaman) hadis dengan pertimbangan yang
mendalam"
Dari
beberapa defendisi daan pengertian diatas, penulis menyimpulkan bahwa kata
kritik bisa diartikan sebagai upaya membedakan antara yang benar (asli) dan yang
salah (palsu) dalam penelitian dan analisis hadis Nabi Muhammad SAW.
2. Pengertian
matn ((المتن
Secara
etimologi matn المتن)) berarti punggung, tanah tinggi yang keras, yang kokoh, kuat.[7]
المتن هو نص
الرواية او نص الحديث[8]
"Matan adalah teks
riwayat atau teks hadis"
Sedangkan
matn menurut termimologi adalah :
المتن هو ماانتهى اليه السند من الكلام[9]
"Matan (isi hadis)
adalah perkataan yang berbatasan dengan ujung sanad"
Defendisi lain
yaitu :
الفاظ الحديث التى تتقوم بها معانيه[10]
"Ungkapan – ungkapan
hadis yang menunjukkan maksud hadis tersebut"
Dari
pengertian di atas, penulis mengambil kesimpulan bahwasanya matan adalah penghujung
sanad, setelah disebutkan sanad yakni matan hadis (isi hadis) berupa ucapan,
perbuatan, dan juga ketetapan Nabi Muhammad SAW.
Jika
kritik sanad lazim dikenal dengan istilah kritik ekstern ( al naqd al
khariji) maka kritik matam lazim dikenal dengan kritik intern (al naqd
al-dakhili).[11]
Dalam buku itu juga ditegaskan bahwa, kritik sanad diperlukan untuk mengetahui
apakah perawi itu jujur, takwa, kuat hafalannya, dan apakah sanadnya bersambung
atau tidak. Sedangkan kritik matan diperlukan untuk mengetahui apakah hadis
tersebut mengandung berupa syadz atau illat.
Istilah
kritik matan hadis, dipahami sebagai upaya pengujian atas keabsahan matan
hadis. Yang dilakukan untuk memisahkan antara matan-matan hadis yang shahih dan
yang tidak shahih. Dengan demikian krtik matan tersebut bukan dimaksudkan untuk
mengoreksi atau menggoyahkan dasar ajaran islam dengan mencari kelemahan sabda
rasulullah, akan tetapi diarahkan telaah redaksi dan makna guna menetapkan
keabsahan suatu hadis[12].
Penelitian
terhadap aspek matan hadis ini mengacu pada kaedah kesahihan matan hadis
sebagai tolak ukur, yakni terhindar dari syadz dan illat .
- Pengertian
Hadis (الحديث)
Secara etimologi hadis الحديث)) adalah yang
baru, cerita, kabar.[13] Sedangkan hadis menurut terminologi ada beberapa
pengertian hadits. Pertama Menurut
ahli hadits dan yang kedua Menurut ulama’
ushul. Hadis menurut ahli hadis sama dengan sunnah, yaitu :
معنى الحديث في اصطلاح المحدثين : هو اقوال النبي ص.م. وأفعاله
وتقريراته وصفاته الخلقية و الخلقية[14].
"Perkataan Nabi SAW,
dan perbuatannya, dan ketetapannya/tindakannya dan karakteristik bawaan dan perkembangan".
السنة فى اصطلاح المحدثين : هي كل ما اثر عن الرسول صلى الله عليه و
سلم من قول او فعل او تقرير او صفة خلقية او خلقية او سيرة سواء كان ذالك قبل البعثة
كتحنثه فى غار حراء ام بعده[15].
"sunnah
dalam pengertian ahli hadis adalah segala riwayat yang berasal dari Rasululloh
baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan (taqrir), sifat fisik dan tingkah
laku beliau, baik sebelum diangkat menjadi rasul (seperti kontemplasi
spiritual/tahannus beliau di gua hira) maupun sesudahnya".
Sedangkan
ulama ushul juga menyamakan antra hadis dan sunnah, hadis menurut ulama ushul
yaitu :
السنة فى اصطلاح علماء اصول الفقه : هي كل ماصدر عن النبي صلى الله
عليه و سلم غير القراء الكريم من قول او فعل او تقرير مما يصلح ان يكون دليلا لحكم
الشرعى[16].
"Al-Sunnah menurut
pengertian ulama Ushul Fiqh adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi
SAW selain al-Qur'an, berupa perkataan, perbuatan maupun ketetapan (taqrir)
beliau, yang dapat dijadikan sebagai dalil hukum syari'ah".
- Fungsi
hadis terhadap al qur’an
Karena
Hadis merupakan sumber hukum Islam yang kedua, tentunya penting bagi kita untuk
mengetahui apa fungsi hadis terhadap al Qur'an ?. Adapun fungsi Hadits terhadap
al Qur'an[17]
yaitu:
1.
Penjelas
dan penegas ayat-ayat al Qur'an yang masih bersifat umum.
2.
Pembuat
hukum bagi ketentuan hukum yang tidak ada dalam al Qur'an.
3.
Memperkuat
dan menetapkan hukum-hukum yang telah ditentukan oleh al Qur'an (sebagai bayan
taqrir)[18].
Adapun pengertian kritik matan hadits dari
pengertian-pengertian di atas adalah mengkaji, menganailsa maupun mengevaluasi
hadits yang memiliki kerancuan dalam matan karena memiliki unsur-unsur pertentangan
dengan Alquran maupun hadits-hadits nabi yang lainnya, sehingga membutuhkan
penjelasan-penjelasan dengan metode-metode yang sudah ditentukan.
Dengan kata lain kita juga bisa mengartikan pengertian kata
atau istilah kritik di atas, bahwa yang dimaksud
dengan kritik matan hadis naqd al-matn atau naqd ad dakili dalam
konteks ini ialah usaha untuk menyeleksi matan-matan hadis sehingga dapat
ditentukan antara matan-matan hadis yang sahih atau lebih kuat dan yang tidak.
Sedangkan kajian terhadap masalah-masalah yang menyangkut
matan disebut naqd al-matan (kritik matan) atau kritik intern, atau kritik ad
dahili,. Disebut demikian karena yang dibahasnya adalah materi hadis itu
sendiri, atau teks, atau isi, yakni perkataan, perbuatan atau ketetapan Rasulullah
SAW.
- Sejarah kritik matan Hadis
- Pada masa
rasul
Kalau
kita berbicara mengenai sejarah kritik matan hadis, ternyata sejak zaman
rasululloh sudah ada kritik matan hadis. Kritik matan hadis pada zaman
rasululloh dimaksudkan untuk menjaga dan keabsahan berita. Kritik matan hadits pada masa nabi rasululloh sendiri,
lebih mudah dan sederhana karena sistim kritik matan hadits adalah dengan
langsung mengkonfirmasikan hadits yang bersangkutan kepada rasul jika terjadi
kerancuan dan kekurangpahaman.
Praktik
penyelidikan atau pembuktian untuk meneliti hadis Nabi pada masa itu
tercermin dari kegiatan para sahabat pergi menemui atau merujuk kepada Nabi
untuk membuktikan apakah sesuatu benar-benar telah dikatakan oleh beliau? Apakah hadis tersebut shahih, benar atau salah ?.
Seperti
pada kronologi yang diriwayatkan oleh abu buraidah, tentang seorang pria yang
tertolak pinangannya untuk mempersunting wanita banu laits. Lokasi pemukiman
kabilah itu kurang lebih 1 mil dari madinah.[19]
Dilanjutkan dalam kisahnya bahwa, ia tampil berbusana kostum dimana potongan,
warna dasar dan ciri-ciri lain yang benar-benar mirip busana keseharian Nabi
Saw. Kedatangan pria itu, seperti pengakuannya membawa pesan dari Nabi Muhammad
Saw untuk singgah di rumah siapa pun yang dalam versi riwayat lain untuk
membuat perhitungan hukum sendiri. Ternyata pilihan rumah jatuh kepada kediaman
orang tua gadis yang ia gagal meminangnya. Segera warga kabilah banu laits
mengirim kurir agar menemui Nabi Saw dengan tujuan untuk konfirmasi atas
pengakuan sepihak pemuda tersebut. Secepat itu berita sampai pada Nabi, beliau
langsung menugasi Abu Bakar dan Umar Ibn Khattab untuk menangkap pria itu,
ternyata ia seorang munafik dan menjatuhkan hukuman (bunuh) di tempat.[20]
Pada
masa nabi, kritik hadis seperti sangat mudah, karena keputusan tentang
otentitas sebuah hadis berada di tangan nabi sendiri. Lain halnya sesudah nabi
wafat, kritik hadis tidak dapat dilakukan dengan menanyakan kembali kepada
nabi, melainkan dengan menanyakan kepada orang yang ikut mendengar atau melihat
hadis itu dari nabi, seperti yang dilakukan oleh abu bakr as siddiq.[21]
- Masa
sahabat
Pada periode sahabat menurut pengamatan al-Hakim (w. 405 H)
dan al-Dzahabi (w. 748 H) adalah Abu Bakar al-Shiddiq (w. 13 H) sebagai tokoh
perintis pemberlakuan uji kebenaran informasi hadis. Motif utama penerapan kritik hadis
adalah dalam rangka melindungi jangan sampai terjadi kedustaan dengan
mengatasnamakan Rasulullah Saw. Motif seperti ini terungkap pada pernyataan
Umar Ibn Khattab kepada Abu Musa al-Asy’ari: “saya sesungguhnya tidak
mencurigai kamu, akan tetapi saya khawatir orang (dengan seenaknya)
memperkatakan sesuatu (baca: mengatasnamakan) pada Rasulullah) pada Rasulullah
Saw”.[22]
Kaidah kritik lebih tertuju pada uji kebenaran bahwa
Rasulullah Saw jelas -jelas menginformasikan hadis itu prosedurnya mencerminkan
upaya memperoleh hasil dari perujukan silang kyang saling membenarkan terhadap
fakta kehadisan sebagaimana diberitakan oleh sahabat tertentu. Pola perujukan
silang berintikan muqarnah atau perbandingan antar riwayat dan sesama sahabat.
Pola muaranah antar riwayat ini kelak menyerupai praktek I’tibar guna
mendapatkan data syahid al-hadits agar asumsi kemandirian sahabat periwayat
hadis bisa dibuktikan. Syahid
al-hadits adalah periwyatan serupa isi matan hadis, mungkin ada kemiripan
struktur kalimatnya dan mungkin hanya semakna saja, oleh sahabat lain yang
dapat disejajarkan sebagai riwayat pendukung. Cara yang dilakukan cukup meminta
agar shaat periwayat hadits berhasil mendatangkan perorangan sahabat lain yang
memberi kesaksian atas kebenaran hadits nabawi yang ia beritakan. Langkah
metodologis tersebut berkesan seakan-akan kalangan sahabat tidak bersedia
menerima informasi hadis kecuali dibuktikan oleh kesaksian minimal 2 (dua)
orang yang sama-sama menerima hadis tersebut dari rasulullah Saw.[23]
Pemberlakuan
metode kitik internal hadis seperti contoh diatas dalam bukunya Hasjim Abbas lebih
diorientasikan sebagai peletakan disiplin bagaimana prosedur penerimaan setiap
informasi yang diasosiasikan kepada nabi Saw harus ditegakkan dan umat islam
tidak boleh terburu-buru mempercayai pemberitaan seperti itu.
Akan tetapi
norma kritik itu tidak mutlak harus diberlakukan; sebab dalam batas tidak ada
keraguan, betapa substansi matan hadisnya mengenai materihukum yang berdampak
jauh, terjadi sikap penerimaan periwayatan sahabat tunggal tanpa menuntut
dukungan kesaksian. Misalnya[24]:
1. Ali bin Abi thalib segera mempercayai
penjelasan hadis Nabi tentang shalat taubah yang disampaikan oleh Abu Bakkar
al-Shiddiq
2. Khalifah Umar bin Khattab menerima saran
Abdurrahman bin ‘Auf perihal petunjuk nabi Saw dalam rangka mengantisipasi
wabah penyakit yang yang melanda daerah npemusatan angkatan perang islam
3. Usman bin ‘Afan menerima pemberitaan
Fura’iah binti Malik perihal mantan istri ber-‘iddah karena kematian suami
dirumah duka.
Tradisi kritik esensi
matan hadis dilingkungan sahabat selain menerapkan kaidah muqaranah antar
riwayatseperti contoh-contoh di atas, berlaku juga kaidah mu’aradhah. Namun
skala penerapan metode mu’arahlah pada periode sahabat belum sepesat periode
berikutnya, tabi’in. metode mu’aradhah intinya adalah konsep pencocokan
konsep yang menjadi muatan pokok setiap matan hadis, agar tetap terpelihara
kebertauutan dan keselarasan antar konsep dengan hadis (sunnah) lain dan dengan
dalil syari’ah yang lain. Langkah pencocokan itu juga dilakukan dengan peunjuk
eksplisit al-Qur’an (dzahir al-Qur’an), pengetahuan kesejarahan (sirah
nabawiyah) dan dengan; penalaran akal sehat. Langkah metodologis mu’aradhah
serpa dengan critical approarch pada penelitian pemikiran tokoh. Konsep dan
seluruh aspek pemikiran tokoh dianalisis sevara tepat dan mendalam
keselarasannya atu sama lain. Dari pola analisis tersebut didapat koherensi
intern atau pertautan antar narasi pemikiran tokoh yng diteliti.[25]
Dilanjutkan
dalam bukunya Hasjim Abbas, Uji kecocokan hadis dengan petunjuk eksplist
al-Qur’an, mislnya pengkuan pribadu Fatimah binti Qais al-Quraysyiyah, bahwa
ketika dirinya dinyatakan jatuh thalaq ba’in oleh suaminya, Rasulullah saw
tidak memberikan fasilitas nafaqahk maupun tempat kediamanatas beban suaminya
selama menjalani masa ‘iddah (HR. muslim dan Abu Dawud).[26] Kkhalifah
Umar bin khattab menolak pengakuan tersebut yang diasosiasikan kepada nabi Saw,
karena menurut keyakinan pribadinya, informasi hadis tersebut ternyata
bertentangan dengan petunjuk eksplisit al-Qur’an seperti terbaca pada surat
al-Thalaq: 49 dan 51. saat itu Umar bin Khatab menyatakan sikapnya:
قال عمر الخطاب: لانترك كتاب ربنا لقول امرأة
لعلها حفظت او نسيت. ( اخرجه مسلم وابو داود)
“kami tidak akan mengabalikan (kertentuan) kitab suci Tuhan,
kami hanya karena ucapan seorang waniita yang mungkin ingat atau lupa”. (HR. Muslim dan
Abi Dawud)
Ketika
dilakukan mverifikasi data pada subjek Fathimah binti Qais, ternyata yang
bersangkutan bermula mohon perkenan kepada nabi Saw untuk tidak tinggal di
rumah keluarga suami selama menjalani masa iddah, dengan pertimbangan dilokasi
perkampungan eks suami banyak bekeliaran binatang buas. Seperti terungkap pada
koleksi al-Bukhary[27]
dan Ibnu Majah serta Abu Dawud. Jadi pengakuan Fatimah binti Qais itu ekses
dari persepsi pribadinya bahwa persetujuan nabi Saw itu mengisyaratkan tidak
adanya fasilitas nafaqah dan tempat tiggal selama ‘iddah pasca thalaq ba’in
yang menimpa dirinya.
Menurut Hasjim
Abbas, penerapan metode mu’aradhah dengan sesame hadis (sunnah) seperti
pengutipan hadis oleh Abu Hurairah bahwa Nabi Saw bersabda:
من ادركه الفجر
جنبا فلا يصم
“Siapa memasuki waktu shubuh dalam keadaan junub (hadas besar)
maka jangan berpuasa”.
Ketika
informasi itu terdngar oleh kedua Umm al-Mu’minin, A’isyah dan Ummu Salamah,
terjadi reaksi penolakan karena keduanya menyaksikan betapa Nabi Saw
berulangkali masih dalam kondisi janabah (hadats besar) hingga masuk waktu
shubuh dimana paginya beliau bepuasa. Atas kesaksian kedua isteri nabi Saw itu
Abu Hurairah mengakui kelabihan pengetahuan mereka dalam berterus terang
mengungkap bahwa informasi itu tak ia terima langsung dari Nabi Saw melainkan
diperoleh dari Fadhal bin Abbas.
Pada periode
sahabat juga telah diterima mu’aradhah hadis dan mencocokkanya dengan penalaran
akal sehat. Seperti teramati pada reaksi spontan A‘isyah, Abdullah bin Mas’ud
dan Abullah bin Abbas ketika mereka mendengar Abu Hurairah menyitir hadis[28]:
من غسل الميّت
فليغتسل ومن حملها فليتوضأ
“Siapa telah selesai memandikan mayat, harap mandi (sesudahnya)
dan siapa yang memikul keranda jenazah, harap ia berwudlu”. (HR. Abu Dawud)
Lebih lanjut
diungkapkan Hasjim Abbas, polemik yang muncul kemudian bernada mempertanyakan:
najisnya mayat-mayat orang islam? Beban hukum apakah yang berlaku bagi orang
yang memikul kayu? Betapa kita memikul kayu dalam keadaan basahpun tidak wajib
mandi. Obyek kayu dalam polemik itu dibuat padanan, karena keranda jenazah masa
itu biasa terbikin dari bahan kayu. Pertanyaan A’isyah perihal najis tidaknya
mayat manusia, bisa jadi merujuk pada pertanyaan Nabi Saw bahwa: “orang mukmin
itu najis mayatnya” (HR. Baihaqi).
Melalui metode
mu’aradhah terungkap bahwa pemberitaan itu bukan benar-benar hadis, melainkan
fatwa atas pertimbangan istihsan yang formulasinya sebatas anjuran mandi pasca
memandikan mayat.
- Masa
tabi'in
Pada masa ini,
terdapat tiga alasan utama para ahli hadis dalam melakukan dan menjaga
otentitas (keaslian) hadis, di antaranya: Pertama, pengumpulan hadis yang
dilakukan oleh al-Zuhri atas perintah Umar bin Abdul
al-‘Aziz. Kedua, lahirnya ilmu kritik hadis dalam arti sesungguhnya.
Kelanjutan dari proses “kematangan” kritik sanad. Ketiga, lahirnya
semangat kuat untuk melakukan pelacakan hadis sebagaimana yang telah dilakukan
oleh para generasi sebelumnya.
Pada periode
pasca/setelah sahabat, mulai ditandai dengan penyebaran hadis yang semakin
banyak dan meluas, dan banyak bermunculan matan-matan hadis palsu. Menanggapi
keadaan seperti itu, bangkitlah para ulama untuk melakukan kritik atau seleksi
guna menentukan hadis-hadis yang benar-benar berasal dari Nabi.
Integritas
keagamaan pembawa berita hadits mulai diteliti sejak terjadi fitnah, yakni
peristiwa terbunuhnya Usman bin Affan yang berlanjut dengan
kejadian-kejadianlain sesudahnya. Fitnah tersebut melahirkan berbagai
pertentangan yang tajam di antara umat Islam, sehingga keutuhan umat islam
menjadi terpecah. Pemuka aliran sekterian itu memanfaatkan institusi hadits
sebagai propaganda dan upaya membentuk umat dengan cara membuat hadits-hadits
palsu.[29]
Fakta pemalsuan itu membangkitkan kesadaran Muhaditsin untuk melembagakan sanad sebagai alat
kontrol periwayatan hadits sekaligus mencermati kecenderungan sikap keagamaan
dan politik orang per-orang yang menjadi mata rantai riwayat itu. Dalam rangka
mengimbangi pelembagaan sanad maka lahirlah kegiatan Jar wa-ta'dil. Kegiatan Jarh
wa-ta'dil menurut pengamatan
al-Dzahabi (w. 784 h) telah melibatkan 715 kritikus. Data itu cukup
mengisyaratkan bahwa penalsuan hadits tak terbendung dan berlangsung dalam
waktu yang lama (21 generasi) serta bertempat di banyak daerah.[30]
4.
Tradisi
Muhadisin dan fuqaha dalam kritik matan
Secara
garis besar ulama muhadisin telah mengembangkan metode kritik matan yang
berintikan dua kerangka kegiatan dasar[31] :
- Mengkaji
kebenaran dan keutuhan teks yang susunan redaksinya sebagaimana terkutib
dalam komposisi kalimat matan hadis
- Mencermati
keabsahan matan konsep ajaran islam yang disajikan secara verbal oleh
periwayat dalam bentuk ungkapan matan hadis
Akumulasi
langkah muhaddisin dalam kritik teks dokumentasi atas ungkapan redaksi matan
hadis memanfaatkan metode muaradah. Versi lain menyebutkan metode muqaranah
(perbandingan) atau metode muqabalah.
Metode
mu'aradah (cross reference) adalah rujukan silang yang dilaksanakan dengan cara
memperbandingkan antara redaksi matan hadis pada beberapa kitab koleksi hadis,
atau intern sebuah kitab hadis.
Sedangkan
tradisi fuqaha dalam kritik matan dan ushuliyyun terpusat pada upaya
mendudukkan hadis (sunnah) pada jajaran dalil-dalil hukum syara dan terfokuskan
ke sasaran aplikasi doktrinalnya.
Perbedaan Metodologi Antara Muhaddisin dan
Fuqoha.[32]
1. Muhaddisin amat ketat menyikapi
gejala ‘illat hadis, bukan hanya ‘illat qadihah (merusak)
citra matan, tetapi juga gejala ‘illat khafifah (ringan) juga
dipandang menjadi sebab status ke-dha’if-an hadis. Misalnya, temuan data me-mursal-kan
hadis yang kalangan perawi tsiqah (kepercayaan) dan dhabithmemusnadkannya.
Temuan data tersebut tergolong ‘illat khafifah, tetapi bagi
muhaddisin cukup memadai untuk men-dhaif-kannya. Fuqaha’ dan ushuliyyun bersikap
pemisif dan mentolelir ‘illat tersebut.
2. Muhaddisin sangat peduli dengan uji
ketersambungan sanad (ittishad) dan seluruh periwayat dipersyaratkan
harus jelas personalianya dan dikenal luas kepribadian maupun profesi
kehadisannnya. Keterputusan sanad (mursal, munqathi’, mu’dhal), perawi
yang anonim (majhul al-‘ain) atau minus pengakuan perihal keahlian
hadisnya (mastur al-hal) merupakan tanda ke-dhaif-an yang sangat
mendasar.Fuqaha’ dan ushuliyyun justru bersedia
mangamalkan hadis mursal sekalipun versi teminologisnya berbeda
dengan versi muhaddisin, melembagakan atsar (hadis mawquf), ‘amal
al- shahabah (hukum kebiasaan yang hidup dan dihormati oleh generasi
sahabat) dan sirah mereka. Bahkan disinyalir bahwa ‘amal
ahl al-madinah lebih diunggulkan dari pada potensi kehujjahan
sunnah nabawiyah di kalangan fuqaha’ madzhab
Maliki. Fuqaha’ lebih interes pada uji kuantitas periwayat
guna mengukur data tawatur-ahad-nya hadis dan qathi’iy-zhanniy-nya dalalah.
3. Muhaddisin bersikap peka terhadap
kecacatan kepribadian perawi dari segi integritas keagamaan seperti indikasi
keterlibatan pada faham bid’ah. Demikian juga bila dicurigai memalsukan hadis,
atau tidak cermat dalam membawakan hadis lantaran buruk ingatan dan ketahuan
banyak salah pada penyajian teks matannya. Fuqaha’ dan ushulyun lebih
tertarik menyoroti data konsistensi perilaku periwayat diperhadapkan dengan
muatan doktrin hadis yang ia bertindak sebagai periwayatnya. Konsistensi
periwayat oleh mereka dipandang sebagai cermin daya keberlakuan ajaran hadis
yang ia riwayatkan.
4. Data temuan tambahan informasi
pada matan hadis hanya akan diperhitungkan manakala subyek yang bertanggung
jawab atas data tambahan informasi itu periwayat yang menurut muhaddisin
betul-betul tergolong tsiqah. Tambahan informasi pada matan itu
dianalisis dampaknya pada hadis lain yang sama-sama bermutu sahih, yakni
diterima bila tidak menafikan subtansi matan hadis lain yang sahih atau
berfungsi menafsirkan. Data temuan tersebut dikenal dengan ziyadah tsiqah.
Sikap fuqaha’ menurut pengamatan Khatib al-Baghdadi (w.436 h)
sangat toleran dan lunak dalam merespon data ziyadahtersebut.
5. Bertolah dari paradigama
kebenaran al-Quran karena terjamin oleh sifat tawatur dan
pengakuan umat atas dokumentasi mushafnya, maka kedudukan al-Quran sebagai
dalil hukum syara’ adalah qathiy (pasti dan menyakinkan).
Konsekuensinya setiap informasi hadis (sunah) harus mempertahankan rumusan
konsep Al-Quran dan berhenti pada liminitas hukumnya. Karenanya, informasi
matan hadis yang melampaui rumusan hukum atau liminitas al-Quran
dikategorikan al-ziyadah ‘ala al-nashsh. Muhaddisin utamanya yang
berafiliasi Malikiah, Syafi’iyah dan Hambaliah memandang informasi tambahan
atas nash al-Quran lebih memantapkan keberadaan konsep hukum al-Quran dan
mengakomodir hal lain yang berfungsi komplementer baginya. Fuqaha’ berafiliasi
Hanafiah menganggap tambahan atas nash itu identik dengan nasakh.
Perbedaan pola kritik tersebut memunculkan formula deduksi hukum yang berbeda
sangat mencolok pada hadis bertema: zakat fitrah, menyapu khuf pengganti
mencuci kedua kaki dalam berwudhu, istinja’ memanfaatkan batu, kafarah bersetubuh
di siang hari bulan Ramadhan bagi yang terbebani kewajiban berpuasa, fasakh
ihram haji menjadi ihram ‘umrah,, hukum qiradh, hukum
salam, sanksi rajam pada pelaku zina yang berstatus muhshan dan lain-lain.
6. Pengujian mutu kesahihan matan
hadis dalam tradisi muhaddisin sebatas analisis leteral. Seakan mereka tidak
ingin menggugat keabsahan subtansinya. Fuqaha’ justru lebih
mementingkan kritik subtansi doktrin yang tersirat dibalik matan hadis Muhammad
al–Ghazali mencontohkan 13 unit matan hadis dari berbagai kitab koleksi hadis
yang bila dianalisis memanfaatkan pemikiran fiqih bila mengundang masalah.
Antara lain: kutukan atas hobbi menyanyi, sorotan atas tata busana/kontruksi
rumah/tehnik memotong kambing, sentuhan syaitan pada bayi lselain bayi Isa
al-Masih, tanda-tanda alamiah perihal kiamat, rasio 2 : 1 pembagian rampasan
perang bagi pasukan berkuda dan jalan kaki, dogma qadar dan sikap zuhud.
7. Muhaddisin memperlukan supremasi
hadis sebagai sumber memperoleh informasi hukum syari’ah sedemikian kebal terhadap
intervensi dalil yang otoritas sumbernya bukan nash syar’i. Fuqaha’ danushuliyyun justru
mensejajarkannya dengan qiyas, ‘amal keagamaan sahabat,
perilaku keagamaan yang disepakati oleh generasi salaf khususnya pribumi
Madinah, skala ‘umum al-balwa dan ijmak.
5.
Metode
kritik matan, Analisis dan Implementasi kritik matan hadis dalam hukum keluarga
1.
Metode
Kritik Matan
Kritik matan telah terjadi semenjak zaman
sahabat dan terus berlanjut hingga sekarang. Metode yang digunakan untuk kritik matan
mempunyai bentuk yang sama sejak awal pertumbuhan yaitu metode: Perbandingan
atau cross question dan cross refrence (metode pertanyaan dan rujuk silang),
metode tersebut dengan mengumpulkan semua bahan yang berkaitan dan
membandingkan secara cermat satu demi satu, kemudian menentukan keakuratan
masing-masing.[33]
Dari
metode kritik matan dengan cara perbandingan (muqaranah) dan penyesuaian/penyocokan
(mu'aradah) maka bisa dilakukan dengan beberapa metode:
a.
Metode
membandingkan dengan cara[34] ;
1.
Membandingkan
antara hadis hadis dari berbagai murid seorang guru
2.
Perbandingan
antara pernyataan pernyataan dari seorang ulama yang dikeluarkan pada waktu
yang berlainan
3.
Perbandingan
antara pembacaan lisan dengan dokumen tertulis
4.
Perbandingan
antara hadis dengan ayat al qur'an yang berkaitan.
Metode lain
yaitu[35] :
1.
Perbandingan
antara hadis dengan al qur'an
Pertanyaan
yang muncul dari metode ini adalah apakah mungkin terjadi pertentangan hadis
dengan al qur'an sehingga diperlukan adanya perbandingan ?
Beberapa
pendapat ulama :
a.
Abu
hanifah
Tidak
mungkin membandingkan hadis dengan al qur'an. Apabila ada perbuatan atau
perkataan nabi yang bertentangan dengan al qur'an maka alloh pasti akan
menegurnya dan tidak akan pernah terjadi perbedaan atau pertentangan antara
hadis dengan al qur'an. Sekalipun ada pertentangan antara hadis dengan al qur'an
tidak dapat dituduhkan kepada nabi sebagai orang yang membuat pertentangan
tersebut, tetapi harus dikembalikan kepada orang yang meriwayatkan hadis
tersebut kemungkinan ada kesalahan atau kelalaian.
b.
Imam
malik
menolak hadis yang
bertentangan dengan al – qur'an
c.
Imam
syafi'i
Orang
yang mengatakan apabila hadis bertentangan dengan al qur'an maka harus
diabaikan dan alqur'an yang diamalkan, apabila hadis tersebut sesuai dengan
dengan al qur'an maka hadis tersebut bisa diamalkan.
Surah al Hasyr
ayat 7 :
!$tBur ãNä39s?#uä ãAqߧ9$# çnräãsù $tBur öNä39pktX çm÷Ytã (#qßgtFR$$sù 4 ÇÐÈ[36]
"apa yang diberikan
Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka
tinggalkanlah".
Hadis yang boleh dibandingkan adalah
hadis yang sudah dipastikan kesahihannya, baik dari segi sanad maupun matan.Oleh
karena itu tidak mungkin hadis bertentangan dengan al qur'an.
2.
Perbandingan
antara beberapa riwayat (jalur sanad) dalam satu tema
Metode
ini digunakan dengan cara mengumpulkan beberapa dalam satu tema dengan berbagai
jalur periwayatan (sanad). Dengan metode ini kemungkinan akan ditemukan adanya
penyusupan .
Hadis
yang pantas diperbandingkan adalah hadis yang sederajat tingkat kualitas
sanadnya. Sedangkan perbedaan lafaz yang tidak mengakibatkan perbedaan makna,
dapat ditoleransi asalkan sanadnya sama-sama shahih.[37]
3.
Perbandingan
antara satu hadis dengan hadis yang lain yang terkesan kontradiktif
Sebagaimana
di kutip ahmad fudhaili, al khatib al bagdady menyatakan "setiap dua hadis
dan dipastikan keduanya bersumber dari nabi maka tidak termasuk dalam kategori
saling bertentangan (ta'arrud) sekalipun pada kenyataannya terlihat
saling bertentangan.karena yang dimaksud dengan bertentangan antra dua hadis
adalah salah satu dari dua hadis tersebut saling menegaskan dan didalamnya
terkandung antara perintah dan larangan. Salah satu diantara kedua hadis
tersebut ada yang benar dan yabg lainnya bohong.
4.
Perbandingan
antara matn (materi) hadis dengan fakta sejarah.[38]
Salah
satu langkah yang ditempuh muhaddisin untuk melakukan penelitian matan hadis
adalah mengetahui peristiwa yang melatar belakangi munculnya suatu hadis
(asbabul wurud). Sebenarnya asbabul wurud hadis tidak ada pengaruhnya secara
langsung dengan kualitas suatu hadis. Namun yang tepat adalah mengetahui
asbabul wurud mempermudah memahami kandungan hadis.[39]
5.
Meneliti
matn hadis yang terdapat kerancuan bahasa dan pengertian yang jauh menyimpang
Penelitian
matan hadis dengan pendekatan bahasa sangat perlu karena bahasa Arab yang
digunakan oleh nabi dalam menyampaikan
berbagai hadis selalu dalam susunan yang baik dan benar. Penggunaan
pendekatan bahasa dalam penelitian matan akan sangat membantu terhadap kegiatan
penelitian yang berhubungan dengan kandungan petunjuk dan matan hadis yang
bersangkutan.[40]
6.
Meneliti
hadis yang bertentangan dengan kaidah-kaidah syariat dan kaidah-kaidah lain
yang telah ditetapkan.
7.
Menghimpun
hadis-hadis yang terjalin dalam tema yang sama
Hadis
yang pantas diperbandingkan adalah hadis yang sederajat tingkat kualitas
sanadnya. Perbedaan lafaz pada matan hadis yang semakna ialah karena dalam
periwayatan hadis telah terjadi periwayatan secara makna. Menurut muhaddisin perbedaan
lafaz yang tidak mengakibatkan perbedaan makna, dapat ditoleransi asalkan
sanadnya sama-sama shahih. [41]
Dari
pemaparan diatas, kita dapat melakukan kritik hadis dengan cara lafzi dan
maknawi. Gunanya untuk mendapatkan kesahihan hadis. Dari pemaparan diatas juga,
penulis menyimpulkan bahwa dalam meneliti matan hadis dinilai shahih atau tidaknya
sebuah hadis harus melalui berbagai metode dan pendekatan. Berbagai metode dan pendekatan
dilakukan seperti pendekatan bahasa, sejarah, makna matan yang satu dengan yang
lainnya dan lain-lain.
Perlu
kita pahami juga bahwa untuk mendapat kualitan matan hadis yang sahih yaitu
terhindar dari syadz (janggal) dan illat (cacat).
Sebagaimana dalam buku Sholahuddin bin Ahmad al-adlabi yang
diterjemahkan oleh Ita Qonita, memberikan dua syarat[42] :
1. Hadits
tersebut terlepas dari syadz, dengan arti bahwa hadits tersebut
mencakupi syarat hadits shohih.
Syadz pada matan didefinisikan dengan adanya
pertentangan atau ketidak sejalanan riwayat seorang perawi yang satu dengan
seorang perawi yang lain dan lebih kuat hafalan/ ingatannya.
2. Hadits
tersebut terbebas dari illat
Illat pada matan hadits didefinisikan sebagai
suatu sebab tersembunyi yang terdapat pada matan hadits yang secara lahir
tampak berkualitas shahih. Sebab tersembunyi di sini dimaksudkan bisa berupa
masuknya redaksi hadits lain pada hadits tertentu.
Menurut Al-Khatib Al-Bagdadi (w. 463 H)[43]. sebagaimana
dikutip oleh Syuhudi Ismail bahwa suatu matan hadis dapat dinyatakan maqbul
(diterima) sebagai matan hadis yang shahih apabila memenuhi unsur-unsur sebagai
berikut:[44]
1. Tidak bertentangan dengan akal sehat
2.Tidak
bertentangan dengan hukum al-Qur’an yang telah muhkam (ketentuan hukum yang
telah tetap)
3.Tidak bertentangan dengan hadis mutawatir
4.Tidak
bertentangan dengan amalan yang telah menjadi kesepakatan ulama masa lalu
(ulama salaf)
5.Tidak bertentangan dengan dalil yang telah
pasti
6.Tidak
bertentangan dengan hadis ahad yang kualitas keshahihannya lebih kuat.
Sedangkan tolak ukur atau kaidah kesahihan
matan tersebut (ma’ayir naqd al-matan) menurut Shalah al-Din
al-Adlabi sebagaimana dikutip oleh Syuhudi Ismail ada empat macam, yaitu[45]:
1.Tidak bertentangan dengan petunjuk al-Qur’an
2.Tidak bertentangan dengan hadis yang
kualitasnya lebih tinggi
3.Tidak
bertentangan dengan akal sehat, indra dan sejarah
4.Susunan pernyataan menunjukkan ciri-ciri
sabda kenabian. yaitu: tidak rancu, sesuai
dengan kaidah bahasa Arab, fasih.
Ada prinsip kritik matan yang
popular yaitu : apabila engkau menemui sebuah hadis yang bertentangan dengan
akal, atau yang sudah disepakati sebagai riwayat autentik, atau bertentangan
dengan prinsip-prinsip yang sudah mapan diterima, maka engkau harus mengetahui
bahwa hadis tersebut adalah palsu[46].
Kalau disimpulan, defenisi kesahihan matan
hadis menurut mereka adalah: sanadnya sahih (penentuan kesahihah sanad hadis
didahului dengan kegiatan takhrij hadis dan dilanjutkan dengan kegiatan
penelitian sanad hadis), kedua, tidak bertentangan dengan hadis mutawatir atau
hadis ahad yang sahih, ketiga, tidak bertentangan dengan petunjuk alqur’an,
keempat, sejalan dengan alur akal sehat, kelima, tidak bertentangan dengan
sejarah, dan keenam, susunan pernyataan menunjukkan ciri-ciri kenabian.
2.
Analisis
dan Implementasi kritik matan hadis dalam hukum keluarga
Dalam
menganalisis kritik matan hadis dalam hukum keluarga, penulis mencari hadis
bukhari dan juga muslim tentang larangan nikah mut'ah. Dalam menganalisis matan
hadis ini, penulis menggunakan metode Al-Khatib Al-Bagdadi dan Shalah al-Din al-Adlabi untuk menentukan keshahihan hadis yang sudah penulis paparkan
diatas. Diantara metode Al-Khatib Al-Bagdadi dan Shalah al-Din
al-Adlabi yang ditawarkan untuk menetukan
kesahihan matan hadis, diantara keduanya mempunyai metode yang sama, tetapi Al-Khatib
Al-Bagdadi lebih banyak dalam memberikan metodenya.
Disisi
lain, metode yang ditawarkan oleh keduanya saling
melengkapi antara satu dengan yang lainnya. Di dalam metode yang ditawarkan
oleh Al-Khatib
Al-Bagdadi tidak ada di dalam metode Shalah al-Din al-Adlabi begitu juga
sebaliknya. Oleh karena itu, penulis ingin mengkomparasikan dua metode dari dua
ulama tersebut dalam menganalisis contoh matan hadis tentang larangan nikah
mut'ah. Hadis
Pertama tentang larangan nikah mut'ah terdapat dalam kitab Hadis bukhari :
عَنْ عَلِيٍّ رض اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص: نَهَى
عَنْ مُتْعَةِ النِّسَاءِ يَوْمَ خَيْبَرَ وَ عَنْ لُحُوْمِ اْلحُمُرِ
اْلاِنْسِيَّةِ.[47]
رواه البخارى
"Ali
Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang
nikah mut'ah pada waktu perang khaibar dan melarang untuk makan daging keledai
jinak". Riwayat Bukhari
Hadis kedua,
terdapat dalam kitab Muslim, yaitu:
حدثنا مُحَمَّدُ
بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ، حدثنا أَبِي، حدثنا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ
عُمَرَ، حَدَّثَنِي الرَّبِيعُ بْنُ سَبْرَةَ الْجُهَنِيُّ: أَنَّ أَبَاهُ،
حَدَّثَهُ: أَنَّهُ كَانَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فقَالَ: " يَا أَيُّهَا النَّاسُ، إِنِّي قَدْ كُنْتُ أَذِنْتُ لَكُمْ فِي
الِاسْتِمْتَاعِ مِنَ النِّسَاءِ، وَإِنَّ اللَّهَ قَدْ حَرَّمَ ذَلِكَ إِلَى
يَوْمِ الْقِيَامَةِ، فَمَنْ كَانَ عَنْدَهُ مِنْهُنَّ شَيْءٌ فَلْيُخَلِّ
سَبِيلَه، وَلَا تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا".[48]
"Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdillah bin
Numair : Telah menceritakan kepada kami ayahku : Telah menceritakan kepada kami
‘Abdul-‘Aziiz bin ‘Umar : Telah menceritakan kepadaku Ar-Rabii’ bin Sabrah
Al-Juhaniy : Bahwasannya ayahnya telah menceritakannya : Bahwasannya ia pernah
bersama Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda
: “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku pernah mengijinkan kalian
nikah mut’ah. Dan sesungguhnya Allah telah mengharamkannya hingga hari
kiamat. Barangsiapa yang masih mempunyai ikatan mut’ah maka segera lepaskanlah,
dan janganlah kalian ambil sesuatupun yang telah kalian berikan kepada wanita
yang kalian mut’ahi itu” Diriwayatkan oleh Muslim" .
عن عبد الملك بن ربيع بن سبرة الجهني عن ابيه جده
قال: أَمَرَنَا رَسُولُ اللهِ, بِالْمُتْعَةِ عَامَ الْفَتْحِ حِينَ دَخَلْنَا
مَكَّةَ، ثُمَّ لَمْ نَخْرُجْ مِنْهَا حَتَّى نَهَانَا عَنْهَا[49]
“Dari Abdul Malik bin Rabi bin Sabrah
al-Juhani, dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata : Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam mengizinkan
kami untuk melakukan mut’ah ketika kami memasuki kota Makkah. Kemudian,
tidaklah kami keluar meninggalkan kota Makkah kecuali dalam keadaan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengharamkannya untuk kami.” HR.
Muslim
Berdasarkan penelusuran matan
melalui kitab hadis, sebenarnya banyak kitab yang meriwayatkan hadis tentang larangan
nikah mut'ah, seperti riwayat Abu
Dawud, Nasa'i, Ibnu Majah, Ahmad, Ad-Daarimiy, tetapi penulis hanya
memasukkan dua hadis dengan lafaz yang berbeda, yaitu dari riwayat Bukhari dan
Muslim.
Dari
data-data yang penulis dapat, bahwa penulis menggunakan model pendekatan
kualitas sanad dalam mencontohkan dua hadis diatas (hadis bukhari dan muslim).
Karena kualitas sanad sangat menentukan kualitas matan hadis. Penulis
menyimpulkan bahwa sanad di atas shahih.
Setelah menentukan kesahihan sanad
hadits, kemudian menentukan tingkat keshahihan matan melalui
metodologi kritik matan sebagaiman penulis paparkan diatas pada bab
dua tentang keshahihan matan hadis menurut Al-Khatib
Al-Bagdadi dan Shalah al-Din al-Adlabi.
Berdasarkan kriteria keshahihan
matan di atas. Dapat dipahami bahwa matan hadis tentang larangan
nikah mut'ah adalah shahih dengan pertimbangan sebagai berikut:
Sesuai dengan metode Al-Khatib
Al-Bagdadi dan Shalah al-Din al-Adlabi dalam menentukan kesahihan matan hadis, penulis menganalisis
hadits larangan nikah mut'ah dengan menggunakan pendekatan metode Al-Khatib
Al-Bagdadi bahwa :
Dilihat dari aspek temanya bahwa dua
hadis tentang larangan “nikah mut'ah” memiliki tema yang sama yaitu tentang
“pelarangan nikah mut'ah” hadis tentang larangan nikah mut'ah ini tidak
bertentangan dengan akal sehat.
Hadis larangan nikah mut'ah ini
memang tidak ada dalam al-Qur'an. Tetapi, sebagaimana fungsi hadits untuk
mengisi kekosongan hukum jika tidak ada dalam al Qur'n atau sebagai pembuat
hukum bagi ketentuan hukum yang tidak ada dalam al Qur'an. Dilihat dari aspek
perbandingan hadis bahwa tidak terdapat pertentangan makna hukum antara hadis
yang diriwayat oleh imam Bukhari dengan imam Muslim. Tetapi sebaliknya, saling
melengkapi dan mendukung, walaupun terdapat penambahan kata dan berbeda lafadznya.
Dua hadits imam Bukhari dan imam Muslim tentang
larangan nikah mut'ah tidak bertentangan dengan hadis mutawatir. Karena dua
imam periwayatan hadis ini sudah menempati urutan hadis paling shahih. Jadi
tidak ada hadis yang lebih tinggi derajat periwayatannya selain kedua hadis
ini.
Karena tidak ada dalam al Qur'an tentang
larangan nikah mut'ah, maka kedua hadis tentang larangan nikah mut'ah tidak
bertentangan dengan dalil yang telah pasti.
Sedangkan dalam menentukan kesahihan
matan hadis yang kedua, penulis menganalisis hadits larangan nikah
mut'ah yaitu dengan menggunakan
pendekatan metode Shalah al-Din al-Adlabi sebagai tambahan yang tidak ada dalam metodenya Al-Khatib
Al-Bagdadi.
Adapun menurut Shalah al-Din al-Adlabi, kriteria
matan hadits itu shahih apabila tidak bertentangan dengan hadis yang kualitasnya
lebih tinggi, tidak bertentangan dengan akal sehat, indra dan sejarah. Hadits
yang diriwayatkan oleh imam Bukhari dan Muslim tentang larangan nikah mut'ah Dilihat aspek
sejarah menunjukkan bahwa matan ini tidak bertentangan dengan fakta
sejarah. sudah menjadi pemahaman umum bagi umat Islam sedunia bahwa perjuangan
Nabi Saw semasa hidup, selalu memperjuangkan nilai kebenaran dan keadilan bagi
umat manusia.
Sedangkan susunan pernyataan menunjukkan
ciri-ciri sabda kenabian. yaitu: tidak rancu, sesuai
dengan kaidah bahasa Arab, fasih. Dilihat
dari struktur bahasa, Hadits yang diriwayatkan oleh imam Bukhari dan
Muslim tentang larangan nikah mut'ah
menunjukkan bahwa matan ini memiliki struktur bahasa sesuai
dengan kaidah bahasa Arab yang sudah lazim berlaku. Sedangkan, esensi
pesan matan mampu mengambarkan sikap dan ketauladan Nabi Saw,
berupa ketegasan Nabi Saw dalam menjawab persoalan yang terjadi pada masanya.
Berdasarkan perbandingan matan dan
dua metode yang digunakan dalam menganalisi kesahihan matan di atas, menunjukkan bahwa kedua hadis tidak mengalami:
syadz (kejanggalan) maupun illat (cacat), dari segi maknanya. Kandungan makna tidak
bertentangan antara satu dengan yang lainnya. Adapun, perbedaan kedua matan di
atas masih dapat ditoleransi sebab hanya sebatas redaksi bahasa atau perbedaan lafadz
yang tidak merusak makna teks, struktur bahasa, dalil lain yang lebih kuat
derajatnya, logika dan fakta sejarah.
Setelah
menganalisi hadis diatas maka penulis menyimpulkan hasil penelitian matan.
Karena penyimpulan matan hadis ada dua cara yaitu shahih dan dhaif, maka
penulis menyimpulkan dengan dua cara tersebut. Penulis menyimpulkan bahwa hadis
tentang pelarangan nikah mut'ah diatas adalah shahih matannya.
Kritik
kedua matan hadits diatas, penulis menggunakan kritik baik dari segi kritik
lafaz dan juga kritik ma'na hadits.
Permasalahan
atau problematika yang penulis alami selama penelitian studi kritik matan hadis
adalah kurang adanya metode yang akurat dalam penelitian ini. Berbeda dengan
penelitian sanad, para ulama sudah menentukan metode dalam penelitian sanad
hadis.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Penulis simpulkan bahwa kritik matan hadis merupakan
bagian yang sangat penting untuk dibahas dan didiskusikan dalam pembelajaran
study hadits. Pembelajaran matan hadis ini tidak kalah pentingnya dengan
pembahasan sanad hadits dalam menentukan kesahihan sebuah hadis. Antara sanad
dan matan hadits adalah satu kesatuan dalam menentukan suatu hadits itu makbul
(diterima). Dalam proses studi kritik matan hadis, secara praktis, kritik ini
memang telah ada sejak para sahabat Nabi, sahabat, kemudian tabi'in. Upaya
perumusan metode kritik matan hadis menjadi sangat penting selain karena secara
nyata telah tertinggal oleh metode kritik sanad, matan-matan hadis telah
terkodifikasikan, juga belum terumuskannya kaidah-kaidah atau metode kritik
matan. Oleh karena itu, tulisan ini merupakan bagian dari usaha untuk
mengembangkan studi kritik matan hadis dari aspek motodenya.
Istilah kritik matan hadits, di pahami
sebagai upaya pengujian atas keabsahan matan hadits, yang di lakukan untuk
memisahkan antara matan-matan hadits yang sahih dan yang tidak sahih. Dengan
demikian, kritik matan tersebut, bukan di maksud untuk mengoreksi kelemahan
sabda Rasulullah, akan tetapi di arahkan kepada redaksi dan makna guna
menetapkan keabsahan suatu hadits. Karena itu kritik matan merupakan upaya
positif dalam rangka menjaga kemurnian matan hadits, di samping juga untuk
mengantarkan kepada pemahaman yang lebih tepat terhadap hadits Rasulullah. baik
secara lafaz maupun ma’nawi.
B.
Saran
Bagi masyarakat dan juga akademisi, lebih khusus lagi para pembaca
untuk bias mengembangkan lebih dalam lagi masalah studi
kritik matan hadis. Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari aspek
penulisan maupun isi makalah ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran,
kritik, maupun masukan demi kebaikan makalah ini.
Daftar Pustaka
Amin, Kamaruddin. Menguji kembali keakuratan Metode Kritik Hadis (Jakarta Selatan:PT
Mizan Publika, 2009).
Abbas, Hasjim. Kritik
Matan Hadis (Yogyakarta : Teras, 2004).
Ahmad al Adlabi, Shalahuddin. Menalar Sabda
Nabi Menerapkan Metode Kritik Matan Dalam Studi Hadis, diterjemahkan oleh
Ita Qonita (Yogyakarta : Insan Madani, 2010).
Azami, Muhammad Mustafa, studies in hadits methodology and
literature, diterjemahkan oleh A.Yamin, Metodologi Kritik Hadits
(Jakarta:Pustaka Hidayah, 1992).
Ahmad, Muhammad dan M.Mudzakir Ulumul Hadis ( Bandung:Pustaka Setia,
1998).
Amin, Kamaruddin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis
(Jakarta:Mizan Publika,2009).
Bustami dan M.Isa H.A.Salam. Metodologi Kritik Hadis
(Jakarta :PT Raja Grafindo Persada, 2004)
Fu'ad Abdul Baqi. Muhammad, Kumpulan Hadis Shahih Bukhari Muslim
dengan judul asli Al-lu'lu Wal Marjan Fima Ittafaqa Alaihi Asy-Syaikhani
Al-Bukhari Wa Muslim (solo : Insan Kamil,2010).
Fu'ad Abdul Baqi, Muhammad. Shahih Muslim jilid 2dengan judul
asli SHAHIH MUSLIM Li al Imam Abu al Husain Muslim bin al Hajjaj al Qusyairi an
Naisaburi (Jakarta : Pustaka As Sunnah,2010).
Fudhaili, Ahmad. Perempuan di Lembah Suci Kritik Atas
Hadis-hadis Shahih (Yogyakarta:Pilar Religia, 2005).
Nuruddin 'itr, Ulumul
Hadis (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2012).
Sumbulah, Umi. Kritik hadis pendekatan historis metodologis
(Malang: UIN-Malang Press, 2008).
Sumbulah, Umi, Akhmad Kholil, dan Nasrullah, Studi Al Qur'an dan
Hadis (Malang : UIN Malang Press, 2014).
Ismail, M.Syuhudi. Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta:Bulan
Bintang, 2007).
Khumaidi, Irham, Ilmu Hadis Untuk Pemula (Jakarta: Artha
Rivera, 2008).
Wahid, Abd. Metode Penelitian dan Pemahaman Hadis Musykil,
Jurnal Substantia Vol.15, No. 2, Oktober 2013 Fakultas Ushuluddin UIN
Ar-Raniry.
Warson, Munawwir, Ahmad. Kamus Arab-Indonesia
(Yogyakarta:Pondok Pesantren Al-Munawwir,1984).
Warson, Munawwir, Ahmad. Kamus Arab-Indonesia
(Yogyakarta:Pondok Pesantren Al-Munawwir,1984).
ساجد
الرحمن الصديقي، نشأة علوم الحديث وتطورها. القاهرة : مكتبة الاداب، 2004 م.
صلاح
الدين بن احمد الادلبي، منهج نقد المتن عند علماء الحديث انبوي . بيروت:
دار الافاق الجديدة، 1983.
ابو
بكر احمد بن على الخطيب البغدادى، تارح بغداد (لبنان: دار الكتب العلمية،
2004).
[1]Kamaruddin Amin, Menguji kembali keakuratan Metode Kritik Hadis (Jakarta Selatan:PT
Mizan Publika, 2009), hal.56.
[2]Abd. Wahid, Metode
Penelitian dan Pemahaman Hadis Musykil, Jurnal Substantia Vol.15, No. 2,
Oktober 2013 Fakultas Ushuluddin UIN Ar-Raniry. Hal.194.
[3]Ahmad Warson
Munawwir, Kamus Arab-Indonesia (Yogyakarta:Pondok Pesantren
Al-Munawwir,1984)
[4]Hasjim Abbas, Kritik
Matan Hadis (Yogyakarta : Teras, 2004), hal. 9.
[5]Hasjim Abbas, Kritik
Matan Hadis, hal.9.
[6]Hasjim
Abbas, Kritik Matan Hadis, hal.10.
[7]Ahmad Warson
Munawwir, Kamus Arab-Indonesia (Yogyakarta:Pondok Pesantren
Al-Munawwir,1984)
[8]صلاح
الدين بن احمد الادلبي، منهج نقد المتن عند علماء الحديث انبوي (بيروت: دار الافاق
الجديدة، 1983 )، صفحة.30.
[9]Nuruddin 'itr, Ulumul
Hadis (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2012), hal. 333.
[10]Ahmad Fudhaili,
Perempuan di Lembah Suci Kritik Atas Hadis-hadis Shahih
(Yogyakarta:Pilar Religia, 2005),hal.43.
[11]Umi Sumbulah, Kritik
hadis pendekatan historis metodologis (Malang: UIN-Malang Press, 2008),
hal.93.
[12]Umi Sumbulah, Kritik
hadis pendekatan historis metodologis, hal.93.
[13]Ahmad Warson
Munawwir, Kamus Arab-Indonesia (Yogyakarta:Pondok Pesantren
Al-Munawwir,1984)
[14] ساجد الرحمن الصديقي، نشأة علوم الحديث وتطورها (القاهرة :
مكتبة الاداب، 2004 م)، صفحة. 20.
[15]Umi Sumbulah,
Akhmad Kholil, dan Nasrullah, Studi Al Qur'an dan Hadis (Malang : UIN
Malang Press, 2014), hal.15.
[16]Umi Sumbulah,
Akhmad Kholil, dan Nasrullah, Studi Al Qur'an dan Hadis,hal.16.
[17]Irham Khumaidi,
Ilmu Hadis Untuk Pemula (Jakarta: Artha Rivera, 2008),hal.14.
[18]Muhammad Ahmad
dan M.Mudzakir, Ulumul Hadis ( Bandung:Pustaka Setia, 1998), hal.20.
[19]Hasjim Abbas,
Kritik Matan Hadis (Yogyakarta : Teras, 2004), hal.24.
[20]Hasjim Abbas, Kritik
Matan Hadis, hal.24.
[21]Bustami dan
M.Isa H.A.Salam, Metodologi Kritik Hadis (Jakarta :PT Raja Grafindo
Persada, 2004),hal.60.
[22]Hasjim Abbas, Kritik
Matan Hadis, hal.28.
[23]Hasjim Abbas, Kritik
Matan Hadis, hal.28.
[24]Hasjim Abbas, Kritik
Matan Hadis, hal.30.
[25]Hasjim Abbas, Kritik
Matan Hadis, hal.30.
[26]Hasjim Abbas, Kritik
Matan Hadis, hal.31.
[27]Muhammad Fu'ad
Abdul Baqi, Kumpulan Hadis Shahih Bukhari Muslim dengan judul asli Al-lu'lu
Wal Marjan Fima Ittafaqa Alaihi Asy-Syaikhani Al-Bukhari Wa Muslim (solo :
Insan Kamil,2010), hadis ke 946, hal. 424.
[28] Hasjim Abbas, Kritik Matan Hadis, hal.32.
[29]Hasjim Abbas, Kritik
Matan Hadis, hal.34.
[30]Hasjim Abbas, Kritik
Matan Hadis, hal.35.
[31]Hasjim Abbas, Kritik
Matan Hadis, hal.85.
[32]Hasjim Abbas, Kritik
Matan Hadis, hal.127.
[33]Ahmad Fudhaili,
Perempuan di Lembah Suci Kritik Atas Hadis-hadis Shahih,hal.64.
[34]Muhammad
Mustafa Azami, studies in hadits methodology and literature,
diterjemahkan oleh A.Yamin, Metodologi Kritik Hadits (Jakarta:Pustaka
Hidayah, 1992),hal. 87.
[35]Ahmad Fudhaili,
Perempuan di Lembah Suci Kritik Atas Hadis-hadis Shahih,hal.64.
[36]QS. A-Hasyr
(59):7.
[37]Bustami dan
M.Isa H.A.Salam, Metodologi Kritik Hadis, hal.65.
[38]Ahmad Fudhaili,
Perempuan di Lembah Suci Kritik Atas Hadis-hadis Shahih,hal.68.
[39]Bustami dan
M.Isa H.A.Salam, Metodologi Kritik Hadis,hal.85.
[40]M.Syuhudi
Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta:Bulan Bintang,
2007),hal.25.
[41]Bustami dan
M.Isa H.A.Salam, Metodologi Kritik Hadis, hal.65.
[42]Shalahuddin bin Ahmad al Adlabi, Menalar Sabda Nabi Menerapkan Metode
Kritik Matan Dalam Studi Hadis, diterjemahkan oleh Ita Qonita (Yogyakarta:Insan
Madani, 2010), hal.23.
[43]هو
ابو بكر احمد بن على بن ثابت بن احمد بن مهدىي، ذكر ابن النجار – فيما نقله ابن
قاضى شهبه – انه ولد في غزية من اعمال الحجاز، وذكر الصفدى انه ولد في قرية من
اعمال نهر الملك بهنيقه، ولد يوم الخميس
لست بقين من جمادى الاخرة سنة 392 ه، ونشأفي درزيجان، وهى قرية كبيرة جنوب
غربى بغداد وقد مرض الخطيب في رمضان سنة
463، توفى الخطيب البغدادى. (ابو بكر احمد بن على الخطيب البغدادى، تارح بغداد
(لبنان: دار الكتب العلمية، 2004)،صفحة:21 و4.
[44]M.Syuhudi
Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi,hal.118.
[45]M.Syuhudi
Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi,hal.120.
[46]Kamaruddin
Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis (Jakarta:Mizan
Publika,2009),hal. 58.
[47]Muhammad Fu'ad Abdul Baqi, Kumpulan Hadis Shahih Bukhari Muslim dengan
judul asli Al-lu'lu Wal Marjan Fima Ittafaqa Alaihi Asy-Syaikhani Al-Bukhari Wa
Muslim, hadis ke 889, hal. 391.
[48]Muhammad Fu'ad
Abdul Baqi, Shahih Muslim jilid 2dengan judul asli SHAHIH MUSLIM Li al Imam
Abu al Husain Muslim bin al Hajjaj al Qusyairi an Naisaburi (Jakarta :
Pustaka As Sunnah,2010),hadis ke 22, hal. 712.
[49]Muhammad Fu'ad
Abdul Baqi, Shahih Muslim jilid 2dengan judul asli SHAHIH MUSLIM Li al Imam
Abu al Husain Muslim bin al Hajjaj al Qusyairi an Naisaburi,hadis ke 22,
hal. 713.
0 komentar:
Posting Komentar