- Pengertian qiyas.
Pengertian Qiyas menurut etimologis (bahasa arab)
berarti menyamakan, membandingkan atau mengukur. Misalnya:
menyamakan si A dengan si B, karena kedua orang itu mempunyai tinggi yang sama,
bentuk tubuh yang sama, wajah yang sama dan sebagainya. Demikian pula
membandingkan sesuatu dengan yang lain dengan mencari persamaan-persamaannya.
Pengertian Qiyas menurut para ulama ushul fiqh
ialah menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar
nashnya dengan cara membandingkannya kepada suatu kejadian atau peristiwa yang
lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan
‘illat antara kedua kejadian atau peristiwa itu.
Definisi devinisi tentang qiyas sebetulnya banyak,
akan tetapi maksudnya berdekatan, yaitu menetapkan hukum suatu kejadian atau
peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan cara membandingkannya kepada
suatu kejadian atau peristiwa. Contoh:
a. Minum narkotik adalah suatu perbuatan yang perlu
diterapkan hukumnya, sedang tidak satu nashpun yang dapat dijadikan sebagai
dasar hukumnya. Untuk menetapkan hukumnya dapat ditempuh dengan cara qiyas
yaitu mencari perbuatan yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash,
yaitu perbuatan minum khamr, yang diharamkan berdasar firman Allah SWT QS. Al
maidah ayat: 90.
Artinya:“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya
(minum) khamr; berjudi, menyembah patung dan mengundi nasib dengan anak panah
tidak lain hanyalah suatu yang kotor, termasuk perbuatan syaitan, karena itu
hendaklah kamu jauhi agar kamu mendapat keberuntungan.” (al-Mâidah: 90)
Antara minum narkotik dan minum khamr ada persamaan,
illatnya, yaitu sama-sama berakibat memabukkan para peminumnya, sehingga dapat
merusak akal. Berdasarkan persamaan ‘illat itu ditetapkanlah hukum meminum
narkotik itu yaitu haram, sebagaimana haramnya meminum khamr.
Dari contoh di atas dapat dilihat bahwa dalam
melakukan qiyas ada satu peristiwa atau kejadian yang perlu ditetapkan hukumnya
sedang tidak ada satupun nash yang dapat dijadikan dasar hukumnya untuk
menetapkan hukum dari peristiwa atau kejadian itu, dicarilah peristiwa yang
lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash. Kedua peristiwa atau
kejadian itu mempunyai ‘illat yang sama pula. Kemudian ditetapkanlah hukum
peristiwa atau kejadian yang pertama sama dengan hukum peristiwa atau kejadian
yang kedua.
- Rukun-rukun qiyas
- Ashal, yang berarti pokok, yaitu suatu peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash. Ashal disebut juga maqis ‘alaih (yang menjadi ukuran) atau musyabbah bih (tempat menyerupakan), atau mahmul ‘alaih (tempat membandingkan);
- Fara’ yang berarti cabang, yaitu suatu peristiwa yang belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasar. Fara’ disebut juga maqis (yang diukur) atau musyabbah (yang diserupakan) atau mahmul (yang dibandingkan);
- Hukum ashal, yaitu hukum dari ashal yang telah ditetapkan berdasar nash dan hukum itu pula yang akan ditetapkan pada fara’ seandainya ada persamaan ‘illatnya.
- ‘IIIat, yaitu suatu sifat yang ada pada ashal dan sifat itu yang dicari pada fara’. Seandainya sifat ada pula pada fara’, maka persamaan sifat itu menjadi dasar untuk menetapkan hukum fara’ sama dengan hukum ashal.
Sebagai contoh adalah menjual harta anak yatim adalah
suatu peristiwa yang perlu ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat
dijadikan sebagai dasarnya. Peristiwa ini disebut fara’. Untuk menetapkan
hukumnya dicari suatu peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar
nash yang illatnya sama dengan peristiwa pertama. Peristiwa kedua ini memakan
harta anak yatim yang disebut ashal. Peristiwa kedua ini telah ditetapkan
hukumnya berdasar nash yaitu haram (hukum ashal) berdasarkan firman Allah SWT:
QS. An nisa’: 10.
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang memakan
harta anak yatim secara dhalim sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh
perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).”
(an-Nisâ’: 10)
Persamaan ‘illat antara kedua peristiwa ini, ialah sama-sama
berakibat berkurang atau habisnya harta anak yatim. Karena itu ditetapkanlah
hukum menjual harta anak yatim sama dengan memakan harta anak yatim yaitu
sama-sama haram.
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan sebagai
berikut:
Ashal, ialah memakan harta anak yatim.
- Fara’, ialah menjual harta anak yatim.
- Hukum ashal, ialah haram.
- ‘Illat, ialah mengurangi atau menghabiskan harta anak yatim.
D.Syarat – Syarat
Qiyas
Membicarakan syarat qiyas berarti membicarakan
syarat-syarat yang berlaku pada setiap rukun atau unsur-unsur dari qiyas,
sehingga qiyas dapat dijadikan dalil dalam menetapkan hukum. Syarat – syarat
itu adalah :
1. Ashal yaitu
berupa kejadian atau peristiwa yang mempunyai dasar nash, karena itu telah
ditetapkan hukumnya.
Menurut Imam Al-Ghazali (450 – 505 H / 805 – 1111 M)
dan Saifuddin Al-Amidi (keduanya ahli ushul fiqh Syafi’iyyah), syarat-syarat
ashal itu adalah :
a. Hukum Ashal itu adalah hukum yang telah tetap dan
tidak mengandung kemungkinan di-naskh-kan (dibatalkan).
b. Hukum itu ditetapkan berdasarkan syara’.
c. Ashal itu bukan merupakan far’u dari ashal lainnya.
d. Dalil yang menetapkan ‘illat pada ashal itu adalah
dalil khusus, tidak bersifat umum.
e. Ashal itu tidak berubah setelah dilakukan qiyas.
f. Hukum Ashal itu tidak keluar dari kaidah-kaidah
qiyas.
2. Hukum ashal adalah hukum yang terdapat pada suatu wadah maqis ‘alaih yang ditetapkan
hukumnya berdasarkan nash dan hukum itu pula yang akan diberlakukan pada furu’.
Syarat-syarat hukum ashal adalah :
a. Hukum ashal itu hendaklah hukum syara’ yang amali
yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Hal ini diperlukan karena yang
akan ditetapkan itu adalah hukum syara’, sedang sandaran hukum syara’ itu
adalah nash.
Atas dasar yang demikian, maka jumhur ulama berpendapat
bahwa ijma’ tidak boleh menjadi sandaran qiyas. Mereka menyatakan bahwa hukum
yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan, tidak mempunyai sandaran, selain dari
kesepakatan para mujtahid. Karenanya hukum yang ditetapkan secara ijma’ tidak
dapat diketahui dengan pasti, sehingga tidak mungkin mengqiyaskan hukum syara’
yang amali kepada hukum yang mujma ‘alaih. Asy-Syaukani membolehkan ijma’
sebagai sandaran qiyas.
b. Hukum ashal itu harus disepakati oleh ulama, karena
kalau belum disepakati tentu masih diperlukan usaha menetapkannya lebih dahulu
bagi ulama yang tidak menerimanya.
c, Hukum ashal itu tidak menyimpang dari ketentuan
qiyas, karena bila menyimpang dari ketentuan qiyas, itu mungkin karena alasan
hukumnya tidak masuk akal (irrasional), baik karena dikecualikan dari ketentuan
umum atau memang pada dasarnya sudah begitu. Maka tidak mungkin mengqiyaskan
sesuatu kepada hukum ashal itu, sebab dalam hukum ashal seperti itu tidak ada
daya rentang.
Contoh yang tidak rasional dan memegang ditentukan demikian
dari mulanya adalah bilangan raka’at shalat.
d. Hukum ashal itu lebih dahulu disyari’atkan dari
far’u. Dalam kaitan dengan ini, tidak boleh mengqiyaskan wudhu’ pada tayammum,
sekalipun ‘illatnya sama, karena syari’at wudhu’ lebih dahulu turunnya dari
syari’at tayammum.
3. Furu’ yakni sebagai sesuatu yang di bangun atau dihubungkan kepada sesuatu yang
lain. Syarat-syaratnya adalah :
a. ‘Illat yang terdapat pada furu’ memiliki kesamaan
dengan ‘illat yang terdapat pada ashal, baik pada zatnya maupun pada jenisnya.
Maksudnya, seluruh ‘illat yang terdapat pada ashal juga terdapat pada furu’.
Jumlah ‘illat pada furu’ itu bisa sebanyak yang terdapat pada ashal atau
melebihi yang terdapat pada ashal.
b. Hukum ashal tidak berubah setelah dilakukan qiyas.
c. Hukum far’u tidak mendahului hukum ashal. Artinya,
hukum far’u itu harus datang, kemudian dari hukum ashal.
Contohnya adalah dalam masalah wudhu’ dan tayammum di
atas.
d. Tidak ada nash atau ijma’ yang menjelaskan hukum
far’u itu. Artinya, tidak ada nash atau ijma’ yang menjelaskan hukum far’u dan
hukum itu bertentangan dengan qiyas, karena jika demikian, maka status qiyas
ketika itu bisa bertentangan dengan nash atau ijma’. Qiyas yang bertentangan
dengan nash atau ijma’, di sebut para ulama ushul fiqh sebagai qiyas fasid,
yaitu qiyas yang rusak. Misalnya, mengqiyaskan hukum meninggalkan shalat dalam
perjalanan kepada hukum bolehnya musafir tidak berpuasa, karena qiyas seperti
ini bertentangan dengan nash dan ijma’.
4. ‘Illat adalah salah satu rukun atau unsur qiyas, bahkan mrupakan unsur yang
terpenting, karena adanya ‘illat itulah yang menentukan adanya qiyas atau yang
menentukan suatu hukum untuk dapat direntangkan kepada yang lain. Para Ulama
sepakat bahwa Allah SWT membentuk hukum dengan tujuan untuk kemashlahatan
hamba-hambaNya. Kemashlahatan itu adakalanya dalam bentuk mengambil manfaat
(jalbul manaafi’) dan adakalanya dalam bentuk menolak kerusakan dan bahaya
(dar-ul mafaasid). Kedua macam bentuk hukum itu merupakan tujuan terakhir dari
pembentukan hukum yang di sebut hikmah hukum. Hikmah hukum berbeda dengan
‘illat hukum. ‘Illat hukum yaitu suatu sifat yang nyata dan pasti ada pada
suatu peristiwa yang dijadikan dasar pembentukan hukum.
Sebagai contoh ialah seorang musafir boleh mengqashar
shalatnya, seperti mengerjakan shalat dhuhur yang empat raka’at menjadi dua
raka’at, dan sebagainya. Hikmahnya ialah untuk menghilangkan kemusyaqqatan atau
kemudharatan. Hikmah ini hanya merupakan dugaan saja dan tidak dapat dijadikan
dasar ada atau tidak hukum, sedangkan ‘illat adalah suatu yang nyata dan pasti,
seperti safar (dalam perjalanan) menyebabkan seorang boleh mengqashar shalat.
- Macam macam qiyas
1.Ditilik dari segi kekuatan illat yang terdapat pada
furu’ disbanding dengan yang terdapat pada ashl, qiyas dibagi menjadi 3 macam
yaitu:
? Qiyas al-Aulawi: “yaitu suatu illat
hukum yang diberikan pada ashl lebih kuat diberikan pada furu’”seperti yang
terdapat pada QS.S.Al isro’ ayat 23: yaitu: memukul orang tua diqiyaskan
dengan menyakiti hati orang tua.
? Qiyas al-Musawi: ” Suatu qiyas yang
illatnya yang mewajibkan hukum, atau mengqiyaskan sesuatu pada sesuatu yang
keduanya bersamaan dalam keputusan menerima hukum tersebut”. Contoh: menjual
harta anak yatim diqiyaskan dengan memakan harta anak yatim.
? Qiyas al-Adna : “Mengqiyaskan sesuatu
yang kurang kuat menerima hukum yang diberikan pada sesuatu yang memang patut
menerima hukum itu”. Contoh: mengqiyaskan jual beli apel pada gandum merupakan
riba fadhl.
2.Dilihat dari segi kejelasan illat yang terdapat pada
hukum:
? Qiyas al-Jaly: “Qiyas yang illatnya
ditetapkan oleh nash bersamaan dengan hukum ashl atau nash tidak menetapkan
illatnya tetapi dipastikan bahwa tidak ada pengaruh terhadap perbedaan antara
nash dengan furu’”. Contoh: mengqiyaskan budak perempuan dengan budak
laki-laki. Qiyas jaly dibagi lagi menjadi 3 macam: Qiyas yang illatnya
ditunjuk dengan kata-kata, seperti memabukkan adalah illat larangan meminum
khamar yang sudah ada nashnya. Qiyas aulawi dan qiyas musawi.
? Qiyas al-Khafy: “Qiyas
yang illatnya tidak terdapat dalam nash”. Contoh: mengqiyaskan pembunuhan
menggunakan bahan berat dengan pembunuhan menggunakan benda tajam.
3.di lihat dari segi persamaan cabang kepada pokok.
? Qiyas Ma’na ialah qiyas yang cabangnya
hanya disandarkan kepada pokok yang satu. Hal ini di karenakan makna dan tujuan
hukum cabang sudah cukup dalam kandungan hukum pokoknya, oleh karena itu
korelasi antara keduanya sangat jelas dan tegas. Misalnya mengqiyaskan memukul
orang tua kepada perkataan ah seperti yang telah dijelasnkan sebelumnya.
? Qiyas Sibhi ialah qiyas yang fara’
dapat diqiyaskan kepada dua ashal atau lebih, tetapi diambil ashal yang lebih
banyak persamaannya dengan fara’. Seperti hukum merusak budak dapat diqiyaskan
kepada hukum merusak orang merdeka, karena kedua-duanya adalah manusia. Tetapi
dapat pula diqiyaskan kepada harta benda, karena sama-sama merupakan hak
milik. Dalam hal ini budak diqiyaskan kepada harta benda karena lebih banyak
persamaannya dibanding dengan diqiyaskan kepada orang merdeka. Sebagaimana harta
budak dapat diperjualbelikan, diberikan kepada orang lain, diwariskan,
diwakafkan dan sebagainya.
- Kehujahannya qiyas.
Sebagian besar para ulama fiqh dan para pengikut
madzhab yang empat sependapat bahwa qiyas dapat dijadikan salah satu dalil atau
dasar hujjah dalam menetapkan hukum dalam ajaran Islam. Mereka itu barulah
melakukan qiyas apabila ada kejadian atau peristiwa tetapi tidak diper oleh
satu nashpun yang dapat dijadikan dasar.
Hanya sebagian kecil para ulama yang tidak membolehkan
pemakaian qiyas sebagai dasar hujjah, diantaranya ialah salah satu cabang
Madzhab Dzahiri dan Madzhab Syi’ah.
Ulama Zahiriyah berpendapat bahwa secara logika qiyas
memang boleh tetapi tidak ada satu nash pun dalam ayat al-Qur’an yang
menyatakan wajib memakai qiyas.
Ulama Syi’ah Imamiyah dan an-Nazzam dari Mu’tazilah
menyatakan bahwa qiyas tidak bisa dijadikan landasan hukum dan tidak wajib
diamalkan karena mengamalkan qiyas sebagai sesuatu yang bersifat mustahil
menurut akal Mereka mengambil dalil:QS. Al Hujurat: 1
يأيها الذين أمنوا لاتقدموا بين يدي الله ورسول الله واتقوا الله…..
Artinya:Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu
mendahului Allah dan Rasul-Nya, dan bertaqwalah kapada Allah. (QS. al-Hujurat : 1)
Mengenai dasar hukum qiyas bagi yang membolehkannya
sebagai dasar hujjah, ialah al-Qur’an dan al-Hadits dan perbuatan sahabat
yaitu:
a. Al-Qur’an
1) Allah SWT berfirman:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatlah
kepada Allah dan Rasul-Nya dan ulil amri kamu, kemudian jika kamu berbeda
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, jika
kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat. Yang demikian itu lebih baik
(bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (an-Nisâ’: 59)
Dari ayat di atas dapat diambilah pengertian bahwa
Allah SWT memerintahkan kaum muslimin agar menetapkan segala sesuatu
berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits. Jika tidak ada dalam al-Qur’an dan
al-Hadits hendaklah mengikuti pendapat ulil amri. Jika tidak ada pendapat ulil
`mri boleh menetapkan hukum dengan mengembalikannya kepada al-Qur’an dan
al-Hadits, yaitu dengan menghubungkan atau memperbandingkannya dengan yang
terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Dalam hal ini banyak cara yang dapat
dilakukan diantaranya dengan melakukan qiyas
. 2).Firman Alloh SWT QS.Al Hasr:2 فاعتبروايااولى الأبصار
Artinya: Maka ambil (kejadian itu) untuk menjadi
pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan. (QS. Al-Hasr : 2)
b. Al-Hadits.
1. Setelah Rasulullah SAW melantik Mu’adz bin Jabal
sebagai gubernur Yaman, beliau bertanya kepadanya:
Artinya:
“Bagaimana (cara) kamul menetapkan hukum apabila
dikemukakan suatu peristiwa kepadamu? Mu’adz menjawab: Akan aku tetapkan
berdasar al-Qur’an. Jika engkau tidak memperolehnya dalam al-Qur’an? Mu’adz
berkata: Akan aku tetapkan dengan sunnah Rasulullah. Jika engkau tidak
memperoleh dalam sunnah Rasulullah? Mu’adz menjawab: Aku akan berijtihad dengan
menggunakan akalku dengan berusaha sungguh-sungguh. (Mu’adz berkata): Lalu
Rasulullah menepuk dadanya dan berkata: Segala puji bagi Allah yang telah
memberi petunjuk petugas yang diangkat Rasulullah, karena ia berbuat sesuai
dengan yang diridhai Allah dan Rasul-Nya.” (HR.
Ahmad Abu Daud dan at-Tirmidzi)
Dari hadits ini dapat dipahami bahwa seorang boleh
melakukan ijtihad dalam menetapkan hukum suatu peristiwa jika tidak menemukan
ayat-ayat al-Qur’an dan al-Hadits yang dapat dijadikan sebagai dasarnya. Banyak
cara yang dapat dilakukan dalam berijtihad itu. Salah satu diantaranya ialah
dengan menggunakan qiyas.
c. Perbuatan sahabat
Para sahabat Nabi SAW banyak melakukan qiyas dalam
menetapkan hukum suatu peristiwa yang tidak ada nashnya. Seperti alasan
pengangkatan Khalifah Abu Bakar. Menurut para sahabat Abu Bakar lebih utama
diangkat menjadi khalifah dibanding sahabat-sahabat yang lain, karena dialah
yang disuruh Nabi SAW mewakili beliau sebagai imam shalat di waktu beliau
sedang sakit. Jika Rasulullah SAW ridha Abu Bakar mengganti
0 komentar:
Posting Komentar