Urf
Kata ‘urf dalam
bahasa Indonesia sering disinonimkan dengan ‘adat kebiasaan namun para ulama
membahas kedua kata ini dengan panjang lebar, ringkasnya: AI-’Urf
adalah sesuatu yang diterima oleh tabiat dan akal sehat manusia.
KLASIFIKASI
Klasifikasi
‘Urf ditinjau berdasarkan ruang lingkupnya, yaitu:
- ‘Urf ‘am (umum). Yaitu ‘urf yang berlaku di seluruh negeri muslim, sejak zaman dahulu sampai saat ini. Para ulama sepakat bawa ‘urf umum ini bisa dijadikan sandaran hukum.
- ‘Urf khosh (khusus). Yaitu sebuah ‘urf yang hanya berlaku di sebuah daerah dan tidak berlaku pada daerah lainnya. ‘Urf ini diperselisihkan oleh para ulama apakah boleh dijadikan sandaran hukum ataukah tidak.
Contoh:
Di sebuah daerah tertentu, ada seseorang menyuruh seorang makelar untuk
menawarkan tanahnya pada pembeli, dan ‘urf yang berlaku di daerah
tersebut bahwa nanti kalau tanah laku terjual, makelar tersebut mendapatkan 2%
dari harga tanah yang ditanggung bendua antara penjual dengan pembeli; maka inilah
yang berlaku, tidak boleh bagi penjual maupun pembeli menolaknya kecuali kalau
ada perjanjian sebelumnya.
Klasifikasi
‘Urf ditinjau berdasarkan objeknya, yaitu:
- ‘Urf Lafzhy (ucapan). Yaitu sebuah kata yang dalam masyarakat tententu dipahami bersama dengan makna tertentu, bukan makna lainnya. ‘Urf ini kalau berlaku umum di seluruh negeni muslim ataupun beberapa daerah saja maka bisa dijadikan sandaran hukum.
- Misalnya:
a.
Ada seseorang berkata: “Demi Alloh, saya hari ini tidak akan makan daging.”
Ternyata kemudian dia maka ikan, maka orang tersebut tidak dianggap melanggar
sumpah, karena kata ”daging” dalam kebiasaan masyarakat kita tidak
dimaksudkan kecuali untuk daging binatang darat seperti kambing, sapi, dan
lainnya.
b.
Ada seorang penjual berkata: “Saya jual kitab ini seharga lima puluh ribu.”
Maka yang dimaksud adalah lima puluh ribu rupiah, bukan dolar ataupun riyal.
- ‘Urf Amali (perbuatan). Yaitu Sebuah penbuatan yang sudah menjadi ‘urf dan kebiasaan masyanakat tertentu. Ini juga bisa dijadikan sandaran hukum meskipun tidak sekuat ‘urf lafzhy.
Misalnya:
a.
Dalam masyarakat tertentu ada ’urf orang bekerja dalam sepekan mendapat
libur satu hari, pada hari Jum’at. Lalu kalau seorang yang melamar pekerjaan
menjadi tukang jaga toko dan kesepakatan dibayar setiap bulan sebesar
Rp.500.000, maka pekerja tersebut berhak berlibur setiap hari Jum’at dan tetap
mendapatkan gaji tersebut.
Klasifikasi
‘Urf ditinjau berdasarkan diterima atau tidaknya, yaitu:
- ‘Urf shahih ialah ‘urf yang baik dan dapat diterima karena tidak bertentangan dengan syara’.
Misalnya:
a.
Seperti mengadakan pertunangan sebelum melangsungkan akad nikah, dipandang
baik, telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat dan tidak bertentangan dengan
syara’.
- ‘Urf bathil ialah ‘urf yang tidak baik dan tidak dapat diterima, karena bertentangan dengan syara’.
Misalnya:
a.
Seperti kebiasaan mengadakan sesajian untuk sebuah patung atau suatu tempat
yang dipandang keramat. Hal ini tidak dapat diterima, karena berlawanan dengan
ajaran tauhid yang diajarkan agama Islam.
SYARAT-SYARAT ‘URF
Tidak semua ‘urf bisa dijadikan sandaran hukum. Akan tetapi, harus
memenuhi beberapa syarat, yaitu:
- ’Urf itu berlaku umum. Artinya, ‘urf itu dipahami oleh semua lapisan masyarakat, baik di semua daerah maupun pada daerah tertentu. Oleh karena itu, kalau hanya merupakan ‘urf orang-orang tententu saja, tidak bisa dijadikan sebagai sebuah sandaran hukum.
- Tidak bertentangan dengan nash syar’i. Yaitu ‘Urf yang selaras dengan nash syar’i. ‘Urf ini harus dikerjakan, namun bukan karena dia itu ’urf, akan tetapi karena dalil tersebut.
Misalnya:
‘Urf di masyarakat bahwa seorang suami harus memberikan tempat tinggal untuk
istrinya. ‘Urf semacam ini berlaku dan harus dikerjakan, karena Alloh
Azza wa Jalla berfirman:
(QS.
athTholaq [65]:6). tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat
tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk
menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq)
itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka
bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah
kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu)
dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh
menyusukan (anak itu) untuknya.
- ‘Urf itu sudah berlaku sejak lama, bukan sebuah ‘urf baru yang barusan terjadi.
Misalnya:
Maknanya
kalau ada seseorang yang mengatakan demi Allah, saya tidak akan makan daging
selamanya. Dan
saat dia mengucapkan kata tersebut yang dimaksud dengan daging adalah daging
kambing dan sapi; lalu lima tahun kemudian ‘urf masyarakat berubah bahwa
maksud daging adalah semua daging termasuk daging ikan. Lalu orang tersebut
makan daging ikan, maka orang tersebut tidak dihukumi melanggar sumpahnya
karena sebuah lafadh tidak didasarkan pada ‘urf yang muncul belakangan.
- Tidak berbenturan dengan tashrih. Jika sebuah ‘urf berbenturan dengan tashrih (ketegasan seseorang dalam sebuah masalah), maka ‘urf itu tidak berlaku.
Misalnya:
Kalau
seseorang bekerja di sebuah kantor dengan gaji bulanan Rp. 500.000,- tapi
pemilik kantor tersebut mengatakan bahwa gaji ini kalau masuk setiap hari
termasuk hari Ahad dan hari libur, maka wajib bagi pekerja tersebut untuk masuk
Setiap hari maskipun ‘urf masyarakat memberlakukan hari Ahad libur.
- ‘Urf tidak berlaku atas sesuatu yang telah disepakati
Hal
ini sangatlah penting karena bila ada ’urf yang bertentangan dengan apa
yang telah disepakati oleh para ulama (dalam hal ini ’Ijma) maka ’urf
menjadi tidak berlaku, terlebih bila ’urf nya bertentangan dengan
dalil syar’i.
PERBANDINGAN DENGAN METODE LAIN
’Urf lebih kuat dari qiyas karena ’urf adalah
dalil yang berlaku umum dan bukti bahwa sesuatu memang dibutuhkan (Ibn Abidin).
Contoh: sucinya kotoran merpati sesuai ’urf yang terjadi pada mesjid2
bahkan masjid al-haram. Ini tidak bisa diqiyaskan pada korotan ayam.
Perbedaan
’Urf dengan ’Ijma
Tabel
2. Tabel perbandingan antara ’Ijma dengan ’Urf
’Ijma
|
’Urf
|
Dasarnya adalah kesepakatan para mujtahid atas suatu hukum syar’i setelah
Nabi SAW wafat
|
Tindakan mayoritas individu baik ’awam maupun ulama dan tidak harus dalam
bentuk kesepakatan
|
Harus berdasarkan dalil Syara
|
Tidak harus berdasarkan dalil Syara
|
’Ijma ada yang sampai kepada kita dan ada yang tidak
|
Relatif sama dengan sejarah
|
Merupakan hujjah yang mesti dilakukan
|
Tidak menjadi hujjah yang harus dilakukan karena ’urf ada yang shahih
dan ada yang bathil
|
PANDANGAN
ULAMA
Berikut adalah praktek-praktek ’Urf dalam masing-masing mahzab:
- Fiqh Hanafy
a.
Dalam akad jual beli. Seperti standar harga, jual beli rumah yang meliputi
bangunanya meskipun tidak disebutkan.
b.
Bolehnya jual beli buah yang masih dipohon karena ’urf.
c.
Bolehnya mengolah lahan pertanian orang lain tanpa izin jika di daerah tersebut
ada kebiasaan bahwa lehan pertanian digarap oleh orang lain, maka pemiliknya
bisa meminta bagian.
d.
Bolehnya mudharib mengelola harta shahibul maal dalam segala hal menjadi
kebiasaan para pedagang.
e.
Menyewa rumah meskipun tidak dijelaskan tujuan penggunaaannya
- Fiqh Maliki
a.
Bolehnya jual beli barang dengan menunjukkan sample
b.
Pembagian nisbah antara mudharib dan sahibul maal berdasarkan ’urf jika
terjadi perselisihan
- Fiqh Syafi’i
a.
Batasan penyimpanan barang yang dianggap pencurian yang wajib potong tangan
b.
Akad sewa atas alat transportasi
c.
Akad sewa atas ternak
d.
Akad istishna
- Fiqh Hanbali
a.
Jual beli mu’thah
Para ulama sepakat bahwa ‘urf shahih dapat dijadikan dasar hujjah.
Ulama Malikiyah terkenal dengan pernyataan mereka bahwa amal ulama Madinah
dapat dijadikan hujjah, demikian pula ulama Hanafiyah menyatakan bahwa pendapat
ulama Kufah dapat dijadikan dasar hujjah.
Para ulama telah sepakat bahwa seorang mujtahid dan seorang hakim harus
memelihara ’urf shahih yang ada di masyarakat dan menetapkannya sebagai
hukum. Para ulama juga menyepakati bahwa ’urf fasid harus dijauhkan dari
kaidah-kaidah pengambilan dan penetapan hukum. ’Urf fasid dalam keadaan
darurat pada lapangan muamalah tidaklah otomatis membolehkannya. Keadaan darurat
tersebut dapat ditoleransi hanya apabila benar-benar darurat dan dalam keadaan
sangat dibutuhkan.
Imam
Syafi’i terkenal dengan qaul qadim dan qaul jadidnya. Ada suatu
kejadian tetapi beliau menetapkan hukum yang berbeda pada waktu beliau masih
berada di Mekkah (qaul qadim) dengan setelah beliau berada di Mesir (qaul
jadid). Hal ini menunjukkan bahwa ketiga madzhab itu berhujjah dengan ‘urf.
Tentu saja ‘urf fasid tidak mereka jadikan
sebagai dasar hujjah.
Abdul Wahab Khalaf berpandangan bahwa suatu hukum yang bersandar pada ’Urf
akan fleksibel terhadap waktu dan tempat, karena Islam memberikan prinsip
sebagai berikut:
“Suatu ketetapan hukum (fatwa) dapat berubah
disebabkan berubahnya waktu, tempat, dan siatuasi (kondisi)”.
Dengan demikian, memperhatikan waktu dan tempat masyarakat yang akan diberi
beban hukum sangat penting. Prinsip yang sama dikemukakan dalam kaidah sebagai
berikut:
“Tidak dapat diingkari adanya perubahan karena berubahnya waktu (zaman)”.
Dari prinsip ini, seseorang dapat menetapkan hukum atau melakukan perubahan
sesuai dengan perubahan waktu (zaman). Ibnu Qayyim mengemukakan bahwa suatu
ketentuan hukum yang ditetapkan oleh seorang mujtahid mungkin saja mengalami
perubahan karena perubahan waktu, tempat keadaan, dan adat.
Jumhur ulama tidak membolehkan ’Urf Khosh. Sedangkan sebagian ulama
Hanafiyyah dan Syafi’iyyah membolehkannya, dan inilah pendapat yang shohih karena
kalau dalam sebuah negeri terdapat ‘urf tertentu maka akad dan mu’amalah
yang terjadi padanya akan mengikuti ‘urf tersebut.
CONTOH PRAKTEK ‘URF
Berikut adalah akad-akad saat ini yang dapat diterima dengan ’Urf,
yaitu
1.
Konsep Aqilah dalam asuransi
2.
Jual beli barang elektronik dengan akad garansi
3. Dalam sewa menyewa rumah. Biaya kerusakan yang kecil-kecil yang seharusnya
menjadi tanggung jawab pemilik rumah, menjadi tanggung jawab penyewa.
0 komentar:
Posting Komentar